Sabtu, 18 Januari 2014

Jenis-Jenis Makna dalam Bahasa Indonesia



BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan sistem komunikasi yang sangat penting bagi manusia. Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa sentiasa dianalisis dan dikaji dengan menggunakan perbagai pendekatan untuk mengkajinya. Antara pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah pendekatan makna. Semantik merupakan salah satu bidang yang mempelajari tentang makna.
Apakah pengertian dari makna, jenis makna apa saja yang dipelajari dalam semantik bahasa Indonesia? Pada bagian selanjutnya dari makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pengertian makna, dan beberapa jenis makna yang dipelajari dalam semantik.
Berdasarkan kenyataan di atas, penulis tertarik untuk memecahkan masalah-masalah dengan proses berpikir secara berkelompok. Pembahasan tersebut penulis wujudkan dalam makalah yang berjudul “Jenis-Jenis Makna Dalam Bahasa Indonesia”. Penyusunan makalah ini penulis ajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Semantik Bahasa Indonesia.
B.                 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan, penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.                  Apakah yang dimaksud dengan makna?
2.                  Apa saja jenis-jenis makna dalam bahasa Indonesia?
C.                Tujuan Makalah
Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis melalui penyusunan makalah ini untuk mejelaskan dan mendeskripsikan:
1.                  Pengertian makna.
2.                  Jenis-jenis dalam bahasa Indonesia.
D.                Kegunaan Makalah
Makalah ini disusun dengan harapan memiliki kegunaan dan bermanfaat bagi pembaca dan penulis, khususnya kalangan mahasiswa. Secara ringkas makalah ini mempunyai beberapa kegunaan secara teoretis maupun secara praktis. Ditinjau secara teoretis, penyusunan makalah ini berguna untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai pemahaman dan penggunaan bahasa serta hubungannya dalam ucapan. Sedangkan secara praktis makalah ini diharapkan berguna bagi penulis yakni sebagai wahana menambah wawasan keilmuan dalam kajian ilmu pengetahuan, dan dapat dijadikan sebagai media informasi tentang ilmu pragmatik.
E.                 Prosedur Makalah
Makalah ini disusun dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Prosedur yang penulis terapkan dalam penyusunan makalah ini adalah kajian pustaka dan metode deskriptif. Kajian pustaka yang diterapkan berupa kegiatan membaca data yang dapat diolah dengan menggunakan teknik analisis isi melalui kegiatan mengeksposisikan data dan mengaplikasikan data tersebut dalam konteks judul makalah. Sedangkan melalui metode deskriptif ini penulis akan menguraikan permasalahan secara jelas dan komprehensif.

BAB II
PEMBAHASAN

A.                Tinjauan Teoretis
Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda (2001: 79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat.
Menurut Ullman (dalam Mansoer Pateda, 2001: 82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian.
Dalam hal ini Ferdinand de Saussure (dalam Abdul Chaer, 1994: 286) mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik.
Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi:
1.                  maksud pembicara;
2.                  pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;
3.                  hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya; dan,
4.                  cara menggunakan lambang-lambang bahasa (Harimurti Kridalaksana, 2001: 132).

Bloomfied (dalam Abdul Wahab, 1995: 40) mengemukakan bahwa makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya.
Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin (1998: 50) mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahsa dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahsa sehingga dapat saling dimengerti.
Menurut Abdul Chaer (2009: 33) makna adalah unsur darisebuah kata atau lebih tepat sebagai gejala-gejala dalam ujaran (Utterance-internal-phenomenon).
W. J. S. Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengemukakan pengertian makna, adalah arti atau maksud (suatu kata).
Dari pengertian para ahli bahsa di atas, dapat dikatakan bahwa batasan tentang pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau kata.
B.                 Pembahasan
Pembicaraan tentang jenis makna dapat menggunakan berbagai kriteria atau sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya, makna dapat diklasifikasikan atas makna leksikal dan gramatikal, berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/ leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata dapat dibedakan adanya makna konotatif dan denotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan istilah atau makna khusus dan umum.
Berikut akan dibahas mengenai jenis-jenis makna pengertiannya:
1.                  Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Makna leksikal adalah makna suatu kata sebelum mengalami proses perubahan bentuk. Makan leksikal disebut juga makna kamus. Selain itu leksikal adalah bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosakata, dan perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Makna leksikal dapat pula dikatakan makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Umpamanya kata rumah makna leksikalnya adalah bangunan untuk tempat tinggal. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Rumah Cecep dan Tia bersebrangan, atau dalam kalimat Heri sedang mengecat rumah barunya Ibu Nunung. Kata rumah pada kedua kalimat itu jelas menuju pada bangunan untuk tempat tinggal, bukan pada yang lain. Tetapi dalam kalimat Minggu kemarin Lutfah dirumahkan dari pekerjaanyna. Kalimat ini bukanlah makna leksikal karena tidak merujuk kepada rumah melainkan diberhentikan dari pekerjaanya.
Adapun kata makan dalam kalimat Dini dan Husni sedang makan di kantin. Kata makan merupakan makna leksikal, tetapi dalam kalimat Rismanto sudah banyak makan garam dalam dunia pendidikan. Kata rumah tersebut bukan bermakna leksikal melainkan bermakna gramatikal. Kata memetik yang bermakna leksikal dalam kalimat Cecep memetik sekuntum mawar, sedangkan dalam kalimat Kita dapat memetik manfaat dari peristiwa ini, bukan bermakna leksikal melainkan bermakna gramatikal.
Dapat disimpulkan bahwa makna leksikal dari suatu kata adalah gambaran yang nyata tentang suatu komponen seperti yang dilambangkan kata itu. Makna leksikal suatu kata sudah jelas bagi seorang bahasawan tanpa kehadiran kata itu dalam suatu konteks kalimat. Berbeda dengan makna yang bukan bermakna leksikal, yang baru jelas apabila berada dalam suatu konteks  kalimat atau satuan sintaksis lain. Tanpa konteks kalimat dan konteks situasi jika kita mendengar kata bangsat  maka yang terbayang dalam benak kita adalah sejenis binatang penghisap darah yang disebut juga kutu busuk atau kepinding. Jika kita mendengar kata memotong maka yang terbayang dalam benak kita adalah pekerjaan untuk memisahkan atau menceraikan yang dilakukan dengan benda tajam. Tetapi kata bangsat yang berarti penjahat dan kata memotong yang berarti mengurangi. Baru akan terbayang dalam benak kita  apabila kata-kata tersebut dipakai  di dalam kalimat. Misalnya dalam kalimat Dasar bangsat uangku disitanya juga dan dalam kalimat Kalau mau memotong gajiku sebaiknya bulan depan saja.
Kata Kepala pada frasa kepala kantor dan kepala paku tidak bermakna leksikal, sebab tidak merujuk kepada referen yang sebenarnya. Di sini kata kepala digunakan secara metaforis, yakni mempersamakan atau memperbandingkan salah satu ciri makna kata kepala dengan ada pada kata kantor dan kata paku. Dalam perkembangan selanjutnya makna kata kepala pada frasa kepala kantor dan kepala paku dianggap berpolisemi dengan makna kata kepala yang sesuai dengan referenya.
Kata-kata yang dalam gramatikal disebut kata penuh (full word) seperti kata meja, tidur, dan cantik. Memang memiliki makna leksikal, tetapi yang disebut kata tugas (function word) seperti kata dan, dalam, dan karena tidak memiliki makna leksikal. Dalam gramatikal kata-kata tersebut dianggap hanya memiliki tugas gramatikal.
Makna leksikal adalah makna seperti yang terdapat dengan kamus. Pernyataan ini tidak seratus persen benar. Mengapa? Kalau kamusnya adalah kamus kecil  atau sebuah kamus dasar maka penyataan itu benar. Kalau kamusnya bukan kamus dasar tapi kamus umum atau kamus besar maka pernyataan itu tidak benar sebab dalam kamus-kamus itu didaftarkan juga makna-makna idiom dari kiasan.
Makna leksikal  biasanya dipertentangkan atau diposisikan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal itu berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatikal seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi/ pemajemukan. Proses afiksasi  awalan me(m)-, pada kata buat dalam kalimat Cecep sedang membuat cilok, ini menghasilkan makna ‘dapat’ dan dalam kalimat Gempa yang terjadi kemarin telah membuat rumah Tia ambruk, menghasilkan makna gramatikal ‘tidak disengaja’ atau menjadikan’.
Makna gramatikal yang terdapat dalam awalan me(m)-, akan memiliki beberapa kemungkinan makna seperti ‘dapat’ dan ‘tidak disengaja’ bahkan ‘menjadikan’. Oleh karena itu makna sebuah kata, baik kata dasar maupun kata jadian sangat tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi, maka makna gramatikal disebut juga makna kontekstual atau situasional. Selain itu bisa juga disebut makna stuktural karena proses dan satuan-satuan gramatikalnya selalu berkenaan dengan stuktur ketatabahasaan.
Setiap bahasa mempunyai sarana atau alat gramatikal tertentu yang menyatakan makna-makna, atau nuansa-nuansa makna gramatikal. Untuk menyatakan makna ‘jamak’ bahasa Indonesia menggunakan proses reduplikasi seperti kata mahasiswa yang bermakna ‘seorang siswa’ menjadi siswa-siswa yang bermakna ‘banyak siswasedangkan bahasa Inggris untuk menyatakan ‘jamak’ menggunakan penambahan morfem {s} atau menggunakan bentuk khusus. Misalnya student ‘seorang siswa’ menjadi students yang bermakna ‘banyak siswa, kata window yang bermakna ‘sebuah jendela’ menjadi windows yang bermakna ‘banyak jendela’.
Berbagai bahasa terjadi penyimpangan makna dan bentuk-bentuk gramatikal yang sama lazimnya. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, bentuk-bentuk kekuatan, kebingunganan, kemahalan, dan kekurangan memiliki makna gramatik yang sama, yaitu hal yang disebut kata dasarnya. Berbeda halnya dengan kata kemaluan, walaupun memiliki bentuk gramatik yang sama dengan deretan kata-kata yang tadi akan tetapi berbeda maknanya dengan kata dasarnya. Contoh lain, kata menguatkan, membingungkan, dan memahalkan memiliki makna gramatikal yang sama yaitu ‘membuat jadi yang disebut kata dasarnya’. Tetapi kata memenangkan dan menggalakkan yang dibentuk dari kelas kata dan imbuhan yang sama dengan ketiga kata sebelumnya, tidak memiliki makna seperti ketiga kata tersebut, sebab bukan bermakna ‘membuat jadi menang’ dan ‘ membuat jadi galak’, melainkan bermakna ‘memperoleh kemenangan’ dan ‘menggitakan’.
Proses penggabungan atau proses komposisi dalam bahasa Indonesia juga banyak melahirkan makna gramatikal. Kita lihat saja makna gramatikal komposisi baso urat tidak sama dengan komposisi baso Malang. Yang pertama menyatakan ‘asal bahan’ dan yang kedua menyatakan ‘asal tempat’. Begitu juga komposisi anak asuh tidak sama maknanya dengan komposisi orang tua asuh. Yang pertama bermakna ‘anak yang diasuh’ sedangkan yang kedua bermakna ‘orang tua yang mengasuh’.
2.                  Makna Referensial dan Nonreferensial
Makna referensial dan makna nonreferensial dapat dibedakan berdasarkan ada tidak adanya referen dari kata-kata itu. Makna referensial merupakan makna yang mempunyai referennya, sedangkan makna nonreferensial merupakan makna yang tidak memiliki referennya. Dapat dilihat dari contohnya seperti kata pensil, meja, dan penggaris termasuk kata yang bermakna referensial karena mempunyai referen, yaitu sejenis alat-alat yang digunakan untuk menulis yang disebut “pensil” dan “buku”. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen. Jadi, kata karena dan kata tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
Kata-kata yang termasuk kategori kata penuh termasuk kata-kata yang bermakna referensial dan yang termasuk kelas kata tugas seperti preposisi dan konjungsi termasuk kata-kata bermakna nonrefensial. Karena kata-kata tersebut mempunyai makna hanya tidak mempunyai referen.
Sebuah kata itu tidak hanya memiliki makna referensial yang tepat tetapi ada juga yang bermakna referensial tidak tetap seperti halnya pada kata-kata deiktis (bersangkutan dengan atau mempunyai sifat deiksis). Misalnya kata ganti saya, dia dan juga kata ganti yang lain mempunyai rujukan yang berpindah-pindah dari pesona yang satu kepada pesona yang lain bahkan ada juga yang berubah ukurannya. Contoh lain, perhatikan referen kata sekarang dalam ketiga kalimat berikut!
a.                   Sekarang kita harus presentasi makalah Semantik.
b.                  Harga kebutuhan pokok naik semua sekarang.
c.                   Sekarang musimnya blackberry dan behel.
Selain dengan contoh di atas ada pula referen kata kaki, misalnya, pada frase kaki gunung dan kaki meja. Referen kata kaki tetap mengacu pada anggota tubuh manusia. Referen itu tidak berpindah dari manusia kepada gunung atau meja. Yang sebenarnya terjadi adalah kata kaki pada kedua frase itu digunakan secara metaforis, perbandingan. yang diperbandingkan adalah kaki sebagai anggota tubuh manusia sebelah bawah dengan bagian bawah dari gunung atau meja.
3.                  Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif dan konotatif dapat dibedakan berdasarkan pada ada atau tidak adanya nilai rasa baik positif atau negatif pada sebuah kata. Makna denotasi sering disebut sebagai makna sebenarnya umapamanya kata perempuan dan wanita kedua kata ini mempunyai makna denotasi yang sama, yaitu manusia dewasa bukan laki-laki. Walaupun kata perempuan dan wanita mempunyai makna denotasi yang sama tetapi kedua kata itu mempunyai nilai rasa yang berbeda. Kata perempuan mempunyai nilai rasa yang rendah dibanding kata perempuan. Dapat dibuktikan tidak digunakannya kata perempuan diberbagai nama organisasi atau lembaga. Seperti halnya organisasi atau lembaga yang selalu menggunakan kata wanita, misalnya dharma wanita, gedung wanita, menteri urusan peranan wanita, dan Ikatan Wanita Pengusaha.
Selain kata wanita dan perempuan ada pula kata betina, yang memiliki makna denotasi yang sama dengan kedua kata itu, tetapi memiliki makna konotasi yang jauh lebih rendah lagi karena biasanya berkenaan dengan binatang. Dapat kita rasakan perbedaan makna konotasi ketiga kata dalam kalimat:
a.                   Dedeh, yang wanita.
b.                  Dadah, yang perempuan. Dan
c.                   Dodoh, yang betina.
Dedeh adalah seorang yang modern, berkonotasi tinggi. Dadah adalah seorang yang kampungan, berkonotasi rendah karena kurang pendidikan. Dodoh adalah seorang yang binal, berkonotasi rendah karena kebandelan dan keliarannya.
Makna denotasi sering juga disebut makna dasar, makna asli, atau makna pusat. Sedangkan makna konotasi disebut sebagai makna tambahan. Penggunaan makna dasar, makna asli, atau makna pusat untuk menyebut makna denotasi rasanya tidak menjadi persoalan, tetapi penggunaan makna tambahan untuk menyebut makna konotasi kiranya perlu dikoreksi, yakni hanya tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa baik positif maupun negatif. Atau jika tidak bernilai rasa dapat juga disebut berkonotasi netral.
Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti cerewet, tetapi sekarang konotasinya positif. Sebaliknya kata perempuan dulu sebelum zaman jepang berkonotasi nertral tetapi kini berkonotasi negatif. Dalam kehidupan bermasyarakat sudah menjadi sifat manusia untuk selalu memperhalus pemakaian bahasa. Karena itu diusahakan membentuk kata atau istilah baru untuk mengganti kata atau istilah yang dianggap berkonotasi negatif. Maka dalam bahasa Indonesia muncullah kata tuna netra untuk mengganti buta, tuna wicara untuk mengganti bisu, tuna wisma untuk mengganti gelandangan, pramuniaga untuk mengganti pelayan (toko),  pramuwisma untuk mengganti pembantu rumah tangga.
Dalam perkembangan selanjutnya ada juga kata-kata yang telah dianggap bernilai rasa halus itu (seperti kata tuna netra untuk mengganti buta) lama-lama dirasakan tidak halus lagi maka diganti lagi dengan kata lain yang dianggap lebih halus. Misalnya tuna netra itu yang kini diganti dengan kata cacat netra. Ada juga  perbedaan konotasi kata-kata kuli, buruh, karyawan, dan tenaga kerja.
4.                  Makna Kata dan Makna Istilah
Makna kata dan makna istilah dapat dibedakan berdasarkan ketetapan makna kata itu dalam penggunaanya secara umum dan secara khusus. Dalam penggunaan bahasa secara umum acapkali kata-kata itu digunakan secara tidak cermat sehingga maknanya bersifat umum. Tetapi dalam penggunaan secara khusus sehingga maknanya pun menjadi tepat.
Secara sinkronis makna sebuah kata tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi bersifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah digunakan dalam suatu kalimat. Kalau lepas dari konteks kalimat makna kata itu menjadi umum kabur. Misalnya kata air. Apa yang dimaksud dengan kata air itu? Apakah yang berada di sumur? Di gelas? Atau di bak mandi? Atau yang turun dari langit? Kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja terjadi karena kata air itu lepas dari konteks kalimatnya.
Berbeda dengan kata yang maknanya masih bersifat umum maka istilah memiliki makna yang  tetap dan pasti, karena istilah itu hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan tertentu. Misalnya, kata akomodasi sebagai istilah dalam bidang kepariwisataan mempunyai makna atau berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan fasilitas penginapan dan tempat makan. Sebagai istilah dalam bidang optik kata akomodasi itu bermakna penyesuaian lensa dengan cahaya. Namun, karena frekuensi penggunaan kata akomodasi sebagai istilah bidang pariwisata lebih tinggi daripada bidang perlistrikan makna masyarakat umum lebih mengenal kata akomodasi  sebagai istilah bidang pariwisata itu.
Banyak istilah yang sudah menjadi unsur bahasa umum karena frekuensi pemakaiannya dalam bahasa umum, dalam bidang kedokteran, misalnya, kata tangan dan lengan digunakan sebagai istilah untuk pengertian yang berbeda. Tangan adalah dari pergelaran sampai ke jari-jari; sedangkan lengan dari pergelangan sampai ke pangkal bahu. Sebaliknya dalam bahasa umum lengan dan tangan bersifat sinonis, sama maknanya. Kaki adalah bagian dari mata kaki sampai ujung jari sedangkan tungkai adalah bagian dari mata kaki sampai pangkal paha. Begitu juga telinga adalah bagian dalam dari alat pendengaran sedangkan kuping adalah bagian luarnya.
Selain itu ada juga perbedaan makna umum dan makna khusus. Kata dengan makna umum mempunyai pengertian dan pemakaian yang lebih luas sedangkan kata dengan makna khusus atau makna terbatas mempunyai pengertian dan pemakaian yang lebih terbatas. Seperti halnya deretan sinonim melihat, mengintip, melirik, meninjau, dan mengawasi. Kata melihat memiliki makna umum sedangkan yang lainnya memiliki makna “melihat dengan kondisi tertentu” kata mngintip mengandung makna “melalui celah sempit”. Kata melirik mengandung makna “dengan sudut mata”, kata meninjau mengandung makna “dari kejauhan” dan kata mengawasi mengandung makna “dengan sengaja”.
5.                  Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Makna konseptual dan makna asosiatif dibedakan berdasarkan pada ada atau tidak adanya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata dengan makna kata lain. Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referenya, dan makna yang bebas dari asoiasi atau hubungan apapun. Makna konseptual ini sama dengan refresensial, makna leksikal, dan makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa misalnya kata melati berasosiasi dengan kata suci atau kesucian, kata merah berasosiasi dengan makna berani, atau juga dengan golongan komunis, kata cenderawasih berasosiasi dengan makna indah. Selain itu makna asosiatif juga termasuk makna konotatif, ke dalamnya termasuk juga makna-makna lain seperti makna stilistika, makna afektif, dan makna kolokatif (Leech, 1976).
Makna stiliska berkenaan dengan gaya pemilihan kata sehubungan dengan adanya perbedaan sosial dan bidang kegiatan masyarakat karena itulah, dibedakan makna kata rumah, pondok, istana, keraton, kediaman, tempat tinggal, dan residensi. Selain itu dibedakan makna kata guru, dosen pengajar dan istruktur.
Makna afektif berkenaan dengan perasaan pembicara pemakai bahasa secara pribadi, baik terhadap lawan bicara maupun objek yang dibicarakan. Makna afektif lebih terasa secara lisan daripada secara tertulis. Perhatikan contoh berikut:
“Tutup mulut mu!” bentaknya pada saya.
Mohon diam sebentar!” katanya kepada anak-anak itu.
Makna kolokatif berkenaan dengan makna kata dalam kaitannya dengan makna kata lain yang mempuanyai tempat yang sama dalam sebuah frase (ko=sama/ bersama, lokasi=tempat). Misalnya kita dapat mengatakan gadis itu cantik, bunga itu indah, dan pemuda itu tampan. Walaupun makna dan informaasinya sama tetapi kita tidak dapat menukar kata tampan dengan kata cantik karena sudah terikat dengan kata tertentu dengan suatu frase.
6.                  Makna Idiomatikal dan Pribahasa
Makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa (kata, frase atau kalimat) yang menyimpang dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Sedangkan yang dimaksud dengan idiom adalah satuan-satuan bahasa (kata, frase, atau kalimat) yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikalnya. Umpamanya menurut kaidah gramatikal kata-kata ketakutan, kesedihan, keberanian, dan kebimbangan memiliki makna hal yang disebut bentuk dasarnya. Tetapi kata kemaluan tidak memiliki makna seperti itu. Begitu juga frase menjual gigi bukan berarti giginya yang dijual akan tetapi tertawa keres-keras.
Kata kemaluan dan frase menjual gigi dalam bahasa Indonesia dewasa ini tidak memiliki makna gramatikal, melainkan hanya memiliki mata idiomatikal. Begitu juga dengan frase meja hijau, dan membanting tulang.
Perbedaan mengenai penggunaan istilah idiom, ungkapan, dan metafora. Ketiga istilah ini sebenarnya mencakup objek pembicaraan yang kurang lebih sama. Hanya segi pandangannya yang berlainan. Idiom dilihat dari segi makna, yaitu menyimpangnya makna idiom ini dari makna leksikal dan makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Ungkapan dilihat dari segi ekspresi kebahasaan, yaitu dalam usaha penutur untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosinya dalam bentuk-bentuk satuan bahasa tertentu dianggap paling tepat dan paling kena. Sedangkan metafora dilihat dari segi digunakannya sesuatu untuk memperbandingkan yang lain dari yang lain umpamanya matahari dikatakan atau diperbandingkan sebagai raja siang, bulan dikatakan sebagai puteri malam, dan pahlawan sebagai bunga bangsa. Jika dilihat dari segi makna, raja siang, puteri malam dan  bunga bangsa adalah termasuk contoh idiom. Jika dilihat dari segi ekspresi maka ketiganya juga termasuk contoh ungkapan, dan jika dilihat dari segi adanya perbandingan maka ketiganya juga termasuk metafora.
Bentuk-bentuk seperti mulut gua, tangan kursi, dan kepala kantor adalah termasuk metafora karena kata mulut, tangan dan kepala digunakan secara metaforis (ada yang diperbandingkan). Dapat juga disebut sebagai ungkapan, tetapi bukan idiom karena kata mulut pada mulut gua, tangan pada tangan kursi, dan kepala pada kepala kantor maasih berada pada lingkungan poloseminya. Sedangkan kata gua, kursi dan kepala kantor pada frase-frase tersebut masih tetap bermakna leksikal.
Peribahas bersifat memperbandingkan atau mengumpamakan maka lazim juga disebut dengan nama perumpamaan. Kata-kata seperti bagai, baik, laksana, dan umpamanya lazim digunakan dalam peribahasa. Memang banyak juga peribahasa yang tanpa menggunakan kata-kata terebut, namun kesan peribahasnya itu tetap saja tampak. Misalnya Tong kosong nyaring bunyinya. Peribahasa tersebut bermakna ‘orang yang tiada berilmu itu biasanya banyak cakapnya’. Di sini orang yang tidak berilmu itu diperbandingkan dengan tong yang kosong. Hanya tong yang kosong yang kalau dipukul akan mengeluarkan suara yang nyaring; tong yang berisi penuh tentu tidak akan berbunyi nyaring. Sebaliknya orang pandai, orang yang banyak ilmunya biasanya pendiam, merunduk dan tidak pongah. Keadaan ini disebutkan dengan peribahasa yang berbunyi  Bagai padi, semakin berisi, semakin runduk.
7.                  Makna Kias
Makna kiasan merupakan oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa baik kata, frase maupun kalimat yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif). Bentuk-bentuk seperti putri malam dalam arti bulan, raja siang dalam arti matahari, membanting tulang dalam arti bekerja keras, pencakar langit dalam arti gedung bertingkat tinggi, dan bunga desa dalam arti gadis cantik, semuanya mempunyai arti kiasan.
Kita lihat antara bentuk ujaran dengan makna yang diacu ada hubungan kiasan, perbandingan atau persamaan. Gadis cantik disamakan dengan bunga,; matahari yang menyinari bumi pada siang hari disamakan dengan raja, tamu tak diundang berarti maling dan sebagainya.
8.                  Makna Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Sudah tidak lazim lagi dalam kajian tindak tutur  (speech act) dikenal dengan makna lokusi, ilokusi dan perlokusi. Yang dimaksud dengan makna lokusi adalah makna seperti yang dinyatakan dalam ujaran, makna harviah, atau makna apa adanya. Sedangkan yang dimaksud dengan makna ilokusi adalah makna seperti yang dipahami oleh pebdengar. Sebaliknya yang dimaksud dengan makna perlokusi adalah makna yang diinginkan oleh penutur. Misalnya, kalau seseorang kepada tukang afdruk (hasil mencetak film) foto dipinggir jalan bertanya,
Bang, tiga kali empat berapa?”
Makna secara lokusi kalimat tersebut adalah keinginan tahu dari si penutur tentang berapa tiga kali empat. Namun, makna perlokusi, makna yang diinginkan si penutur adalah bahwa si penutur adalah bahwa si penutur ingin tahu berapa biaya mencetak foto ukuran tiga kali empat sentimeter. Kalau si pendengar, yaitu tukang afdruk foto itu memiliki makna ilokusi yang sama dengan makna perlokusi dari si penanya, tentu dia akan menjawab misalnya, dua ribu atau tiga ribu. Tetapi kalau makna ilokusinya sama dengan makna lokusi dari ujaran “tiga kali empat berapa”, dia pasti akan menjawab dua belas, bukan jawaban yang lain.
Dalam kajian tindak tutur, sebuah ujaran sekaligus dapat bermakna lokusi, ilokokusi dan perlokusi. Contoh lain seperti ilustrasi di bawah ini:
Seorang laki-laki tua bertanya kepada pelayan toko peti mati:
“Berapa harga peti mati yang penuh ukiran ini?”
“Dua juta tuan”, jawab si pelayan toko,
“Wah mahal amat”, sahut laki-laki tua itu dengan kaget.
“Tapi tuan” kata pelayan toko itu menjelaskan, “kami jamin jika tuan sudah masuk ke dalamnya, dijamin tuan pasti tidak ingin keluar lagi!’.
Pada ilustrasi itu bagian akhir kalimat “Tuan pasti tidak ingin keluar lagi!”. Makna lokusinya adalah “tuan pasti tidak ingin keluar lagi”. Lalu makna ilokusinya “saya tidak keluar lagi karena merasa nyaman yang bukan main”. Sedangkan perlokusinya adalah”tuan tidak akan keluar lagi karena pada waktu itu tuan sudah meninggal”.

BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A.                Simpulan
Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan. Berasarkan jenis semantiknya, makna dapat diklasifikasikan atas makna leksikal dan gramatikal, berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/ leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata dapat dibedakan adanya makna konotatif dan denotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan istilah atau makna khusus dan umum
B.                 Saran
Berdasarkan uraian yang tertera di atas, perlu memandang dan mengungkapkan sejumlah saran sebagai berikut, penulis mengharapkan dukungan dari pembaca, penulis selaku pembaca dapat mengetahui dan memahami jenis-jenis makna supaya dapat diajarkan serta dipahami dalam kegiatan belajar mengajar di sekolahan maupun di perguruan tinggi.







DAFTAR PUSTAKA



Alwi, Hasan dkk.  2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
                                                                      Cipta.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1999. Semantik Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: PT Rafika Aditama.

Rahman, Syaepul. 2009. Hakikat Makna. [Online].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar