BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Bahasa merupakan sistem komunikasi yang sangat penting bagi manusia. Sebagai suatu unsur yang
dinamik, bahasa sentiasa dianalisis dan dikaji dengan menggunakan perbagai
pendekatan untuk mengkajinya. Antara pendekatan yang dapat digunakan untuk
mengkaji bahasa ialah pendekatan makna. Semantik merupakan salah satu bidang
yang mempelajari tentang makna.
Apakah pengertian dari makna, jenis makna apa saja yang dipelajari dalam semantik bahasa Indonesia? Pada bagian selanjutnya dari
makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pengertian makna, dan beberapa jenis makna yang dipelajari dalam semantik.
Berdasarkan
kenyataan di atas, penulis tertarik untuk memecahkan masalah-masalah dengan
proses berpikir secara berkelompok. Pembahasan tersebut penulis wujudkan dalam
makalah yang berjudul “Jenis-Jenis Makna
Dalam Bahasa Indonesia”. Penyusunan makalah
ini penulis ajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Semantik Bahasa Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah
dijelaskan, penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apakah yang dimaksud dengan makna?
2.
Apa saja jenis-jenis makna dalam bahasa Indonesia?
C.
Tujuan Makalah
Tujuan
yang hendak dicapai oleh penulis melalui penyusunan makalah ini
untuk mejelaskan dan mendeskripsikan:
1.
Pengertian makna.
2.
Jenis-jenis dalam bahasa Indonesia.
D.
Kegunaan Makalah
Makalah
ini disusun dengan harapan memiliki kegunaan dan bermanfaat bagi pembaca dan
penulis, khususnya kalangan mahasiswa. Secara ringkas makalah ini mempunyai beberapa
kegunaan secara teoretis maupun secara praktis. Ditinjau secara teoretis,
penyusunan makalah ini berguna untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai pemahaman dan penggunaan bahasa serta hubungannya dalam
ucapan.
Sedangkan secara praktis makalah ini diharapkan berguna bagi penulis yakni
sebagai wahana menambah wawasan keilmuan dalam kajian ilmu pengetahuan, dan dapat dijadikan sebagai media
informasi tentang ilmu pragmatik.
E.
Prosedur Makalah
Makalah
ini disusun dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Prosedur yang penulis
terapkan dalam penyusunan makalah ini adalah kajian pustaka dan metode
deskriptif. Kajian pustaka yang diterapkan berupa kegiatan membaca data yang
dapat diolah dengan menggunakan teknik analisis isi melalui kegiatan
mengeksposisikan data dan mengaplikasikan data tersebut dalam konteks judul
makalah. Sedangkan melalui metode deskriptif ini penulis akan menguraikan
permasalahan secara jelas dan komprehensif.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan Teoretis
Makna adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa saja
yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer
Pateda (2001: 79)
mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan.
Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat.
Menurut
Ullman (dalam Mansoer Pateda, 2001: 82)
mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian.
Dalam hal
ini Ferdinand de Saussure (dalam Abdul Chaer, 1994: 286) mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian
atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik.
Dalam Kamus
Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi:
1.
maksud pembicara;
2.
pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau
perilaku manusia atau kelompok manusia;
3.
hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidak sepadanan
antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya; dan,
4.
cara menggunakan lambang-lambang bahasa (Harimurti
Kridalaksana, 2001: 132).
Bloomfied (dalam Abdul Wahab, 1995: 40) mengemukakan bahwa makna adalah suatu bentuk
kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting situasi
di mana penutur mengujarnya.
Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin (1998: 50) mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara
bahsa dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahsa sehingga
dapat saling dimengerti.
Menurut Abdul Chaer (2009: 33)
makna adalah unsur darisebuah kata atau lebih tepat sebagai gejala-gejala dalam
ujaran (Utterance-internal-phenomenon).
W. J. S. Poerwadarminta dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengemukakan pengertian makna, adalah arti
atau maksud (suatu kata).
Dari pengertian para ahli bahsa di atas, dapat
dikatakan bahwa batasan tentang pengertian makna sangat sulit ditentukan karena
setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam
memaknai sebuah ujaran atau kata.
B.
Pembahasan
Pembicaraan
tentang jenis makna dapat menggunakan berbagai kriteria atau sudut pandang.
Berdasarkan jenis semantiknya, makna dapat diklasifikasikan atas makna leksikal
dan gramatikal, berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/ leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan
nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata dapat
dibedakan adanya makna konotatif dan denotatif, berdasarkan ketepatan maknanya
dikenal adanya makna kata dan istilah atau makna khusus dan umum.
Berikut akan
dibahas mengenai jenis-jenis makna pengertiannya:
1.
Makna Leksikal dan Makna
Gramatikal
Makna leksikal
adalah makna suatu kata sebelum mengalami proses perubahan bentuk. Makan
leksikal disebut juga makna kamus. Selain itu leksikal adalah bentuk ajektif
yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosakata, dan
perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk
bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau
perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan
demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon,
bersifat leksem, atau bersifat kata. Makna leksikal dapat pula dikatakan
makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi
alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita.
Umpamanya kata rumah makna leksikalnya
adalah bangunan untuk tempat tinggal. Makna ini tampak jelas
dalam kalimat Rumah Cecep dan Tia bersebrangan,
atau dalam kalimat Heri sedang mengecat rumah barunya Ibu Nunung.
Kata rumah
pada kedua kalimat itu jelas menuju pada bangunan
untuk tempat tinggal, bukan pada yang lain. Tetapi
dalam kalimat Minggu kemarin Lutfah dirumahkan dari pekerjaanyna. Kalimat
ini bukanlah makna leksikal karena tidak merujuk kepada rumah
melainkan diberhentikan dari pekerjaanya.
Adapun kata makan
dalam kalimat Dini dan Husni sedang makan di kantin. Kata
makan merupakan makna leksikal, tetapi dalam kalimat Rismanto sudah
banyak makan garam dalam dunia pendidikan.
Kata rumah tersebut
bukan bermakna leksikal melainkan bermakna
gramatikal. Kata memetik yang bermakna
leksikal dalam kalimat Cecep
memetik sekuntum
mawar, sedangkan dalam kalimat Kita dapat memetik manfaat dari peristiwa ini,
bukan bermakna leksikal melainkan bermakna
gramatikal.
Dapat
disimpulkan bahwa makna leksikal dari suatu kata adalah gambaran yang nyata
tentang suatu komponen seperti yang dilambangkan kata itu. Makna leksikal suatu
kata sudah jelas bagi seorang bahasawan tanpa kehadiran kata itu dalam suatu
konteks kalimat. Berbeda dengan makna yang bukan bermakna leksikal, yang baru jelas
apabila berada dalam suatu konteks
kalimat atau satuan sintaksis lain. Tanpa konteks kalimat dan konteks
situasi jika kita mendengar kata bangsat maka yang terbayang dalam benak kita adalah
sejenis binatang penghisap darah yang disebut juga kutu busuk atau kepinding.
Jika kita mendengar kata memotong maka yang terbayang dalam
benak kita adalah pekerjaan untuk memisahkan atau menceraikan yang dilakukan
dengan benda tajam. Tetapi kata bangsat yang
berarti penjahat dan kata memotong
yang berarti mengurangi. Baru akan terbayang dalam benak kita apabila kata-kata tersebut dipakai di dalam kalimat. Misalnya dalam kalimat Dasar bangsat uangku disitanya juga dan
dalam kalimat Kalau mau memotong gajiku
sebaiknya bulan depan saja.
Kata Kepala pada frasa kepala kantor dan kepala paku
tidak bermakna leksikal, sebab tidak merujuk kepada referen yang sebenarnya. Di
sini kata kepala digunakan secara
metaforis, yakni mempersamakan atau memperbandingkan salah satu ciri makna kata kepala dengan ada pada kata kantor dan
kata paku. Dalam perkembangan selanjutnya makna kata kepala pada frasa kepala
kantor dan kepala paku dianggap
berpolisemi dengan makna kata kepala yang
sesuai dengan referenya.
Kata-kata
yang dalam gramatikal
disebut kata penuh (full word) seperti kata meja,
tidur, dan cantik. Memang memiliki makna leksikal, tetapi yang disebut kata
tugas (function word) seperti kata dan,
dalam, dan karena tidak memiliki
makna leksikal. Dalam gramatikal
kata-kata tersebut dianggap
hanya memiliki tugas gramatikal.
Makna
leksikal adalah makna seperti yang terdapat dengan kamus. Pernyataan ini tidak
seratus persen benar. Mengapa? Kalau kamusnya adalah kamus kecil atau sebuah kamus dasar maka penyataan itu
benar. Kalau kamusnya bukan kamus dasar tapi kamus umum atau kamus besar maka
pernyataan itu tidak benar sebab dalam kamus-kamus itu didaftarkan juga
makna-makna idiom dari kiasan.
Makna
leksikal biasanya dipertentangkan atau
diposisikan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal itu berkenaan dengan
makna leksem atau kata yang sesuai
dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai
akibat adanya proses gramatikal
seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi/ pemajemukan. Proses
afiksasi awalan me(m)-,
pada kata buat
dalam kalimat Cecep
sedang
membuat cilok,
ini menghasilkan makna ‘dapat’ dan dalam kalimat Gempa yang
terjadi kemarin telah membuat rumah Tia ambruk,
menghasilkan makna gramatikal ‘tidak disengaja’ atau ‘menjadikan’.
Makna gramatikal yang terdapat dalam awalan me(m)-, akan memiliki beberapa kemungkinan makna seperti ‘dapat’ dan ‘tidak
disengaja’ bahkan ‘menjadikan’. Oleh karena itu makna sebuah kata, baik
kata dasar maupun kata jadian sangat tergantung pada konteks kalimat atau
konteks situasi,
maka makna gramatikal disebut juga makna kontekstual atau situasional. Selain itu bisa juga
disebut makna stuktural karena proses dan satuan-satuan gramatikalnya selalu berkenaan
dengan stuktur ketatabahasaan.
Setiap
bahasa mempunyai sarana atau alat gramatikal tertentu yang menyatakan
makna-makna, atau nuansa-nuansa makna gramatikal. Untuk menyatakan makna
‘jamak’ bahasa Indonesia menggunakan proses reduplikasi seperti kata mahasiswa yang bermakna ‘seorang siswa’ menjadi siswa-siswa yang bermakna ‘banyak siswa’
sedangkan bahasa Inggris untuk
menyatakan ‘jamak’ menggunakan
penambahan morfem {s} atau menggunakan bentuk khusus. Misalnya student ‘seorang siswa’ menjadi students yang bermakna ‘banyak
siswa’, kata window yang bermakna ‘sebuah jendela’ menjadi windows yang bermakna ‘banyak
jendela’.
Berbagai
bahasa terjadi penyimpangan makna dan
bentuk-bentuk gramatikal yang sama
lazimnya. Dalam bahasa Indonesia,
misalnya, bentuk-bentuk kekuatan, kebingunganan, kemahalan, dan kekurangan
memiliki makna
gramatik yang sama, yaitu hal yang disebut kata dasarnya. Berbeda halnya dengan kata kemaluan, walaupun memiliki bentuk gramatik yang sama dengan
deretan kata-kata yang tadi akan tetapi berbeda maknanya dengan kata dasarnya.
Contoh lain, kata menguatkan, membingungkan,
dan memahalkan
memiliki makna gramatikal yang sama
yaitu ‘membuat jadi yang disebut kata dasarnya’. Tetapi kata memenangkan dan menggalakkan yang dibentuk dari kelas kata dan imbuhan yang sama
dengan ketiga kata sebelumnya, tidak memiliki makna seperti ketiga kata
tersebut, sebab bukan bermakna ‘membuat jadi menang’ dan ‘ membuat jadi galak’,
melainkan bermakna ‘memperoleh kemenangan’ dan ‘menggitakan’.
Proses
penggabungan atau proses
komposisi dalam bahasa
Indonesia juga banyak melahirkan makna gramatikal. Kita lihat saja makna
gramatikal komposisi baso urat
tidak sama dengan komposisi baso Malang. Yang
pertama menyatakan ‘asal bahan’ dan yang kedua menyatakan ‘asal tempat’. Begitu
juga komposisi anak asuh tidak sama
maknanya dengan komposisi orang tua asuh.
Yang pertama bermakna ‘anak yang diasuh’ sedangkan yang kedua bermakna
‘orang tua yang mengasuh’.
2.
Makna Referensial dan
Nonreferensial
Makna referensial dan makna
nonreferensial dapat dibedakan
berdasarkan ada tidak adanya referen dari kata-kata itu. Makna referensial merupakan makna yang mempunyai
referennya, sedangkan makna nonreferensial merupakan makna yang tidak memiliki
referennya. Dapat
dilihat dari contohnya seperti kata pensil, meja,
dan penggaris
termasuk kata yang bermakna referensial karena mempunyai referen, yaitu sejenis
alat-alat yang digunakan untuk menulis
yang disebut “pensil”
dan “buku”. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen. Jadi, kata karena dan kata tetapi
termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
Kata-kata yang termasuk kategori
kata penuh termasuk
kata-kata yang bermakna referensial dan yang termasuk kelas kata tugas seperti
preposisi dan konjungsi termasuk kata-kata
bermakna nonrefensial. Karena
kata-kata tersebut mempunyai makna
hanya tidak mempunyai referen.
Sebuah kata itu tidak
hanya memiliki makna referensial yang tepat tetapi ada juga yang bermakna
referensial tidak tetap seperti halnya pada kata-kata deiktis (bersangkutan
dengan atau mempunyai sifat deiksis). Misalnya kata
ganti saya, dia dan
juga kata ganti yang lain mempunyai rujukan yang berpindah-pindah dari pesona yang satu
kepada pesona yang lain bahkan ada juga
yang berubah ukurannya. Contoh lain,
perhatikan referen kata sekarang dalam ketiga
kalimat berikut!
a.
Sekarang
kita harus presentasi makalah Semantik.
b.
Harga kebutuhan
pokok naik semua sekarang.
c.
Sekarang
musimnya blackberry dan behel.
Selain dengan contoh di atas ada pula referen kata kaki,
misalnya, pada frase kaki gunung dan kaki meja.
Referen kata kaki tetap mengacu pada anggota tubuh
manusia. Referen itu tidak berpindah dari manusia kepada gunung atau meja. Yang sebenarnya
terjadi adalah kata kaki pada kedua frase itu digunakan secara metaforis,
perbandingan. yang diperbandingkan adalah kaki sebagai anggota tubuh manusia
sebelah bawah dengan bagian bawah dari gunung atau meja.
3.
Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif dan konotatif dapat dibedakan berdasarkan
pada ada atau tidak adanya nilai rasa
baik positif atau negatif pada sebuah kata. Makna denotasi sering
disebut sebagai makna sebenarnya umapamanya kata perempuan dan wanita kedua
kata ini mempunyai makna denotasi yang sama, yaitu manusia dewasa bukan
laki-laki. Walaupun
kata perempuan dan wanita mempunyai makna denotasi yang sama tetapi kedua kata itu
mempunyai nilai rasa yang berbeda. Kata perempuan mempunyai nilai rasa yang rendah dibanding kata perempuan.
Dapat dibuktikan tidak
digunakannya kata perempuan diberbagai
nama organisasi atau lembaga. Seperti
halnya
organisasi atau lembaga yang selalu menggunakan kata wanita,
misalnya dharma wanita, gedung wanita, menteri urusan peranan wanita, dan
Ikatan Wanita Pengusaha.
Selain kata wanita dan perempuan
ada pula kata betina, yang memiliki makna denotasi yang sama dengan kedua kata
itu, tetapi memiliki makna konotasi yang jauh lebih rendah lagi karena biasanya
berkenaan dengan binatang. Dapat kita
rasakan perbedaan makna konotasi ketiga kata
dalam kalimat:
a.
Dedeh, yang wanita.
b.
Dadah, yang
perempuan. Dan
c.
Dodoh, yang betina.
Dedeh
adalah seorang yang modern,
berkonotasi tinggi.
Dadah adalah seorang yang kampungan,
berkonotasi rendah karena kurang pendidikan.
Dodoh adalah seorang yang binal,
berkonotasi rendah karena kebandelan dan keliarannya.
Makna denotasi sering juga disebut
makna dasar, makna asli, atau makna pusat.
Sedangkan makna konotasi disebut sebagai makna
tambahan. Penggunaan makna dasar, makna asli, atau makna pusat untuk menyebut
makna denotasi rasanya tidak menjadi persoalan, tetapi penggunaan makna tambahan untuk
menyebut makna konotasi kiranya perlu dikoreksi, yakni hanya tambahan yang sifatnya memberi
nilai rasa baik positif maupun negatif. Atau jika tidak bernilai rasa dapat
juga disebut berkonotasi netral.
Makna konotatif dapat juga berubah
dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah
dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti cerewet, tetapi sekarang
konotasinya positif. Sebaliknya kata perempuan dulu sebelum zaman jepang
berkonotasi nertral tetapi kini berkonotasi negatif. Dalam kehidupan
bermasyarakat sudah menjadi sifat manusia untuk selalu memperhalus pemakaian
bahasa. Karena itu diusahakan membentuk kata atau istilah baru untuk mengganti
kata atau istilah yang dianggap berkonotasi negatif. Maka dalam bahasa
Indonesia muncullah kata tuna netra untuk mengganti buta, tuna wicara untuk
mengganti bisu,
tuna wisma untuk mengganti gelandangan,
pramuniaga untuk mengganti pelayan (toko), pramuwisma untuk mengganti pembantu rumah
tangga.
Dalam perkembangan selanjutnya ada
juga kata-kata yang telah dianggap bernilai rasa halus itu (seperti
kata tuna netra untuk mengganti buta) lama-lama dirasakan tidak halus lagi maka
diganti lagi dengan kata lain yang dianggap lebih halus. Misalnya tuna netra
itu yang kini diganti dengan kata cacat netra. Ada juga perbedaan konotasi kata-kata kuli, buruh,
karyawan, dan tenaga kerja.
4.
Makna Kata dan Makna Istilah
Makna kata dan makna istilah dapat dibedakan berdasarkan
ketetapan makna kata itu dalam penggunaanya secara umum dan secara khusus.
Dalam penggunaan bahasa secara umum acapkali kata-kata itu digunakan secara
tidak cermat sehingga maknanya bersifat
umum. Tetapi dalam penggunaan secara khusus sehingga maknanya pun menjadi
tepat.
Secara sinkronis makna sebuah kata tidak
berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi bersifat
umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah digunakan dalam suatu
kalimat. Kalau lepas dari konteks kalimat makna kata itu menjadi umum kabur.
Misalnya kata air. Apa yang dimaksud dengan kata air itu? Apakah yang berada di sumur? Di gelas? Atau
di bak mandi? Atau yang turun dari langit? Kemungkinan-kemungkinan itu bisa
saja terjadi karena kata air itu lepas dari konteks kalimatnya.
Berbeda dengan kata yang maknanya
masih bersifat umum maka istilah memiliki makna yang tetap dan pasti, karena istilah itu hanya
digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan tertentu. Misalnya, kata
akomodasi sebagai istilah dalam bidang kepariwisataan
mempunyai makna atau berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan fasilitas
penginapan dan tempat makan. Sebagai istilah dalam bidang optik kata akomodasi
itu bermakna penyesuaian lensa dengan cahaya. Namun, karena frekuensi
penggunaan kata akomodasi sebagai istilah bidang pariwisata lebih tinggi
daripada bidang perlistrikan makna masyarakat umum lebih mengenal kata
akomodasi sebagai istilah bidang
pariwisata itu.
Banyak
istilah yang sudah menjadi unsur bahasa umum karena frekuensi pemakaiannya
dalam bahasa umum, dalam
bidang kedokteran, misalnya, kata tangan dan lengan digunakan sebagai istilah
untuk pengertian yang berbeda. Tangan adalah dari pergelaran sampai ke
jari-jari; sedangkan lengan dari
pergelangan sampai ke pangkal bahu. Sebaliknya dalam bahasa umum lengan dan
tangan bersifat sinonis, sama maknanya. Kaki adalah bagian dari mata kaki
sampai ujung jari sedangkan tungkai adalah bagian dari mata kaki sampai pangkal
paha. Begitu juga telinga adalah bagian dalam dari alat pendengaran sedangkan
kuping adalah bagian luarnya.
Selain itu ada juga
perbedaan makna umum dan makna khusus. Kata dengan
makna umum mempunyai pengertian dan pemakaian yang lebih luas sedangkan kata dengan makna
khusus atau makna terbatas mempunyai pengertian dan pemakaian yang lebih
terbatas. Seperti halnya deretan
sinonim melihat, mengintip, melirik, meninjau, dan mengawasi. Kata melihat
memiliki makna umum sedangkan yang lainnya memiliki makna “melihat dengan kondisi
tertentu” kata mngintip mengandung makna “melalui celah sempit”. Kata melirik
mengandung makna “dengan sudut mata”, kata meninjau mengandung makna “dari
kejauhan” dan kata mengawasi mengandung makna “dengan sengaja”.
5.
Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Makna konseptual dan makna
asosiatif dibedakan berdasarkan
pada ada atau tidak adanya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata
dengan makna kata lain. Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan
konsepnya, makna yang sesuai dengan referenya, dan makna yang bebas dari asoiasi atau hubungan
apapun. Makna
konseptual ini sama dengan refresensial, makna leksikal, dan makna denotatif.
Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan
dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa misalnya
kata melati berasosiasi dengan kata suci atau kesucian, kata merah berasosiasi
dengan makna berani, atau juga dengan golongan komunis, kata cenderawasih berasosiasi
dengan makna indah. Selain itu makna
asosiatif juga termasuk makna konotatif, ke dalamnya termasuk juga
makna-makna lain seperti makna stilistika, makna afektif, dan makna kolokatif
(Leech, 1976).
Makna stiliska berkenaan dengan gaya pemilihan
kata sehubungan dengan adanya perbedaan sosial dan bidang kegiatan masyarakat
karena itulah, dibedakan makna kata rumah, pondok, istana, keraton, kediaman,
tempat tinggal, dan residensi. Selain itu
dibedakan makna kata guru, dosen pengajar dan istruktur.
Makna afektif berkenaan dengan
perasaan pembicara pemakai bahasa secara pribadi, baik terhadap lawan bicara
maupun objek yang dibicarakan. Makna afektif lebih terasa secara lisan daripada
secara tertulis. Perhatikan contoh berikut:
“Tutup mulut mu!” bentaknya pada saya.
“Mohon diam sebentar!” katanya kepada
anak-anak itu.
Makna kolokatif berkenaan dengan
makna kata dalam kaitannya dengan makna kata lain yang mempuanyai tempat yang sama dalam
sebuah frase (ko=sama/
bersama, lokasi=tempat). Misalnya
kita dapat mengatakan gadis itu cantik,
bunga itu indah,
dan pemuda itu tampan.
Walaupun makna dan informaasinya sama tetapi
kita tidak dapat menukar kata tampan
dengan kata cantik karena
sudah terikat dengan kata tertentu dengan suatu
frase.
6.
Makna Idiomatikal dan Pribahasa
Makna idiomatikal adalah makna
sebuah satuan bahasa (kata, frase atau kalimat) yang menyimpang dari makna
leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Sedangkan yang dimaksud dengan
idiom adalah satuan-satuan bahasa (kata, frase, atau kalimat) yang maknanya tidak dapat
diramalkan dari
makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikalnya. Umpamanya menurut
kaidah gramatikal kata-kata ketakutan, kesedihan, keberanian, dan kebimbangan
memiliki makna hal yang disebut bentuk dasarnya. Tetapi kata kemaluan tidak
memiliki makna seperti itu. Begitu juga frase menjual gigi bukan berarti giginya yang dijual akan tetapi tertawa
keres-keras.
Kata kemaluan dan frase menjual
gigi dalam bahasa Indonesia dewasa ini tidak memiliki makna gramatikal,
melainkan hanya memiliki mata idiomatikal. Begitu juga dengan frase meja hijau,
dan membanting tulang.
Perbedaan mengenai
penggunaan istilah idiom, ungkapan, dan metafora. Ketiga istilah ini sebenarnya
mencakup objek pembicaraan yang kurang lebih sama. Hanya segi pandangannya yang
berlainan. Idiom dilihat dari segi makna, yaitu menyimpangnya makna idiom ini
dari makna leksikal dan makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Ungkapan
dilihat dari segi ekspresi kebahasaan,
yaitu dalam usaha penutur untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosinya
dalam bentuk-bentuk satuan bahasa tertentu
dianggap paling tepat dan paling kena. Sedangkan metafora dilihat dari segi
digunakannya sesuatu untuk memperbandingkan yang lain dari yang lain umpamanya
matahari dikatakan atau diperbandingkan sebagai raja siang, bulan dikatakan
sebagai puteri malam, dan pahlawan sebagai bunga bangsa. Jika dilihat dari segi makna, raja
siang, puteri malam dan bunga bangsa
adalah termasuk contoh idiom. Jika dilihat dari segi ekspresi maka ketiganya
juga termasuk contoh ungkapan,
dan jika dilihat dari segi adanya perbandingan maka ketiganya juga termasuk
metafora.
Bentuk-bentuk seperti mulut gua,
tangan kursi, dan
kepala kantor adalah
termasuk metafora karena kata mulut, tangan dan kepala digunakan secara
metaforis (ada yang diperbandingkan). Dapat juga disebut sebagai ungkapan,
tetapi bukan idiom karena kata mulut pada mulut gua, tangan pada tangan kursi,
dan kepala pada kepala kantor maasih berada pada lingkungan poloseminya.
Sedangkan kata gua, kursi dan kepala kantor pada frase-frase tersebut masih
tetap bermakna leksikal.
Peribahas bersifat memperbandingkan
atau mengumpamakan maka lazim juga disebut dengan nama perumpamaan. Kata-kata
seperti bagai, baik, laksana, dan umpamanya lazim digunakan dalam peribahasa.
Memang banyak juga peribahasa yang tanpa menggunakan kata-kata terebut, namun
kesan peribahasnya itu tetap saja tampak. Misalnya Tong kosong nyaring
bunyinya. Peribahasa tersebut bermakna ‘orang yang tiada berilmu itu biasanya
banyak cakapnya’. Di sini orang yang tidak berilmu itu diperbandingkan dengan
tong yang kosong. Hanya tong yang kosong yang kalau dipukul akan mengeluarkan
suara yang nyaring; tong yang berisi penuh tentu tidak akan berbunyi nyaring.
Sebaliknya orang pandai, orang yang banyak ilmunya biasanya pendiam, merunduk
dan tidak pongah. Keadaan ini disebutkan dengan peribahasa yang berbunyi Bagai padi, semakin berisi, semakin runduk.
7.
Makna Kias
Makna
kiasan merupakan oposisi dari arti
sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa baik kata, frase maupun
kalimat yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti
konseptual, atau arti denotatif). Bentuk-bentuk seperti putri malam dalam arti
bulan, raja siang dalam arti
matahari, membanting tulang dalam arti bekerja keras, pencakar langit dalam
arti gedung bertingkat tinggi, dan bunga desa dalam arti gadis cantik, semuanya
mempunyai arti kiasan.
Kita lihat antara bentuk ujaran
dengan makna yang diacu ada hubungan kiasan, perbandingan atau persamaan. Gadis
cantik disamakan dengan bunga,; matahari yang menyinari bumi pada siang hari disamakan
dengan raja, tamu tak diundang berarti
maling dan sebagainya.
8.
Makna Lokusi, Ilokusi, dan
Perlokusi
Sudah tidak lazim
lagi dalam kajian tindak tutur (speech act) dikenal dengan makna lokusi,
ilokusi dan perlokusi. Yang dimaksud dengan makna lokusi adalah makna seperti
yang dinyatakan dalam ujaran, makna harviah, atau makna apa adanya. Sedangkan
yang dimaksud dengan makna ilokusi adalah makna seperti yang dipahami oleh pebdengar. Sebaliknya yang dimaksud dengan
makna perlokusi adalah makna yang diinginkan oleh
penutur. Misalnya, kalau seseorang kepada tukang afdruk (hasil mencetak film)
foto dipinggir jalan bertanya,
“Bang,
tiga kali empat berapa?”
Makna secara lokusi kalimat
tersebut adalah keinginan tahu dari si penutur tentang berapa tiga kali empat.
Namun, makna perlokusi, makna yang diinginkan si penutur adalah bahwa si
penutur adalah bahwa si penutur ingin tahu berapa biaya mencetak foto ukuran
tiga kali empat sentimeter. Kalau si pendengar, yaitu tukang afdruk foto itu
memiliki makna ilokusi yang sama dengan makna perlokusi dari si penanya, tentu
dia akan menjawab misalnya, dua ribu atau tiga ribu. Tetapi kalau makna
ilokusinya sama dengan makna lokusi dari ujaran “tiga kali empat berapa”, dia
pasti akan menjawab dua belas, bukan jawaban yang lain.
Dalam kajian tindak tutur, sebuah
ujaran sekaligus dapat bermakna lokusi, ilokokusi dan perlokusi. Contoh lain seperti ilustrasi di bawah ini:
Seorang laki-laki tua bertanya
kepada pelayan toko peti mati:
“Berapa harga peti mati yang penuh
ukiran ini?”
“Dua juta tuan”, jawab si pelayan
toko,
“Wah mahal amat”, sahut laki-laki
tua itu dengan kaget.
“Tapi tuan” kata pelayan toko itu
menjelaskan, “kami jamin jika tuan sudah masuk ke dalamnya, dijamin tuan pasti
tidak ingin keluar lagi!’.
Pada ilustrasi itu bagian akhir
kalimat “Tuan pasti tidak ingin keluar lagi!”. Makna lokusinya adalah “tuan
pasti tidak ingin keluar lagi”. Lalu makna ilokusinya “saya tidak keluar lagi
karena merasa nyaman yang bukan main”. Sedangkan perlokusinya adalah”tuan tidak
akan keluar lagi karena pada waktu itu tuan sudah meninggal”.
BAB
III
SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan
Makna adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa saja
yang kita tuturkan. Berasarkan jenis semantiknya, makna dapat diklasifikasikan
atas makna leksikal dan gramatikal, berdasarkan ada tidaknya referen pada
sebuah kata/ leksem dapat
dibedakan adanya makna referensial dan nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya
nilai rasa pada sebuah kata dapat dibedakan adanya makna konotatif dan denotatif,
berdasarkan ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan istilah atau makna
khusus dan umum
B.
Saran
Berdasarkan
uraian yang tertera di atas, perlu memandang dan mengungkapkan sejumlah saran
sebagai berikut, penulis mengharapkan dukungan dari pembaca, penulis selaku
pembaca dapat mengetahui dan memahami jenis-jenis
makna supaya dapat diajarkan serta dipahami
dalam kegiatan belajar mengajar di sekolahan maupun di perguruan tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik
Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar
Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Djajasudarma,
T. Fatimah. 1999. Semantik
Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: PT Rafika
Aditama.
Rahman, Syaepul. 2009.
Hakikat Makna. [Online].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar