BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Keterampilan berbahasa sebagai
alat komunikasi pada zaman sekarang ini semakin dirasakan betapa pentingnya
dalam hal kegiatan berbicara atau berkomunikasi
oleh masyarakat sebagai pengguna bahasa itu sendiri.
Berbahasa juga merupakan alat
komunikasi yang sangat vital atau sangat penting dalam kehidupan dan merupakan kegiatan
berbicara yang efektif.
Pengajaran bahasa khususnya keterampilan berbicara di sekolah terutama pada
siswa tingkat menengah masih kurang menggembirakan. Dapat ditemukan ketika
siswa-siswa sedang bertutur dalam situasi formal, seperti halnya pada saat
proses belajar mengajar di dalam sekolah mereka sering menggunakan bahasa
prokem, alih kode, campur kode bahkan integrasi bahasa pun dilakukan. Ada yang
mengatakan bahwa keterampilan berbahasa terutama keterampilan berbicara akan
dikuasai dengan sendirinya, akan tetapi keterampilan tersebut tidak akan
berlangsung dengan baik apabila tidak dibiasakan untuk menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Oleh karena itu pendekatan komunikatif dirasa
penting sebagai penunjang keberhasilan pembelajaran berbicara terutama dalam
hal bertintak tutur di dalam sekolah.
Penelitian yang berjudul
“Analisis Ketidaksantunan Tindak Tutur pada Siswa Tingkat Sekolah Menengah
dengan Menggunakan Pendekatan Komunikatif dan Rancangan Model Pragmatik Klinis”
dilatarbelakangi dengan rumusan masalah
dapatkah rancangan model pragmatik klinis mengatasi ketidaksantunan siswa tingkat menengah.
Berdasarkan
kenyataan di atas, penulis tertarik untuk memecahkan masalah-masalah dengan
proses berpikir secara berkelompok. Pembahasan tersebut penulis wujudkan dalam
makalah penelitian yang berjudul “Analisis Ketidaksantunan Tindak Tutur pada Siswa Tingkat Sekolah
Menengah dengan Menggunakan Pendekatan Komunikatif dan Rancangan Model
Pragmatik Klinis”. Penyusunan makalah ini penulis
ajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir
Mata Kuliah Pragmatik.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah
yang telah dijelaskan, penulis merumuskan rumusan masalah yaitu dapatkah rancangan
model pragmatik klinis mengatasi ketidaksantunan siswa tingkat sekolah menengah?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis melalui penyusunan makalah penelitian ini yaitu untuk mengetahui
berhasil atau tidaknya rancangan model
pragmatik klinis mengatasi ketidaksantunan siswa tingkat sekolah menengah.
D.
Manfaat
Penelitian
Secara ringkas penelitian ini mempunyai beberapa manfaaat secara teoretis maupun secara
praktis. Ditinjau secara teoretis, penyusunan penelitian ini berguna untuk menambah ilmu
pengetahuan tentang teori-teori yang sudah ada. Sedangkan secara praktis penelitian ini diharapkan berguna bagi penulis
maupun pembaca yakni sebagai wahana menambah
wawasan keilmuan dalam kajian ilmu pengetahuan, dan dapat dijadikan sebagai media
informasi oleh guru tentang
ilmu pragmatik,
bahwa rancangan model pragmatik klinis dengan menggunakan pendekatan
komunikatif mampu mengatasi ketidaksantunan siswa tingkat sekolah menengah.
E.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini disusun dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Prosedur yang penulis terapkan dalam penyusunan makalah
ini adalah kajian pustaka dan metode deskriptif. Kajian pustaka yang diterapkan
berupa kegiatan membaca data yang dapat diolah dengan menggunakan tekhnik analisis isi melalui kegiatan
mengeksposisikan data dan mengaplikasikan data tersebut dalam konteks judul penelitian. Sedangkan melalui metode
deskriptif ini penulis akan menguraikan permasalahan yang ada di
lapangan
secara jelas dan komprehensif.
BAB
II
LANDASAN TEORETIS
A.
Teori Dasar Pragmatik
“Pragmatik
adalah telaah mengenai hubungan antara bahasa dan konteks yang
tergramatisasikan atau disandikan dalam struktur sesuatu bahasa” (Tarigan,
2009: 33).
Pragmatik merupakan telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup
dalam teori semantik, atau dengan
perkataan lain memperbincangkan segala aspek makna ucapan yang tidak dapat
dijelaskan oleh referensi langsung kepada kondisi-kondisi kebenaran kalimat
yang diucapkan. Secara kasar dapat dirumuskan
bahwa pragmatik makna kondisi-kondisi kebenaran.
Pragmatik adalah salah satu cabang semantik (Sudiati dkk, 1996: 16).
Belajar pragmatik
adalah “belajar agar dapat berbahasa dengan enak dan mudah, tidak hanya di
dalam forum tak formal, tetapi juga dalam forum formal. Tidak hanya dapat
berbahasa secara lisan tetapi juga secara tulis. Tidak hanya mahir menulis
surat, tetapi juga mahir menuliskan isi pikiran ke dalam wujud esai dan
macam-macam karya tulis yang lain” (Sudiati dkk, 1996: 17).
Sejalan
dengan hal demikian, George (Tarigan, 2009: 30) menyatakan bahwa
“pragmatik menelaah dalam hubungannya dengan tanda-tanda dan lambang-lambang.
Pragmatik memusatkan perhatian pada cara insan berperilaku dalam keseluruhan
situasi pemberian dan peneriman tanda”.
Para
pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda.
Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan
empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2)
bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian
tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau
terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi
menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan
tertentu.
Pendapat lain yang mengemukakan
tentang pragmatik yakni:
Thomas
(1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua
bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan
pragmatik dengan makna pembicara (speaker
meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif,
menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation).
Selanjutnya
Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis
yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks
ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari
sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji
makna dalam interaksi (meaning in
interaction).
Leech
(dalam Gunarwan 2004: 2) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam
linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut
semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik;
pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan
komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang
saling melengkapi.
Menurut Morris (Tarigan, 2009: 33), mengemukakan
pendapatnya
‘pragmatik adalah
telaah mengenai hubungan tanda-tanda dengan penafsir’ Teori pragmatik
menjelaskan alasan atau pemikiran para pembicara dan para penyimak dalam
menyusun korelasi dalam suatu konteks sebuah tanda kalimat dengan suatu
proposisi (rencana atau masalah). Dalam hal ini teori pragmatik
merupakan bagian dari performansi.
Menurut
George (Kurjana Rahardi, 2006: 12),
berpendapat bahwa ‘pragmatik
adalah ilmu tentang makna bahasa, dalam kaitan dengan keseluruhan perilaku umat
manusia dan tanda-tanda atau lambang-lambang bahasa yang ada di sekelilingnya.’
Sejalan
dengan pendapat di atas, David R dan Dowty (Kurjana Rahardi, 2006: 13) menyatakan bahwa
“pragmatik adalah telaah terhadap pertuturan langsung maupun tidak langsung,
presuposisi, implikatur, entailment dan percakapan atau kegiatan konversional
antara penutur dan mitra tutur”.
Levinson
(Tarigan, 2009: 33)
menyatakan bahwa
pragmatik adalah
telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau
laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain: telaah mengani kemampuan pemakai
bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan onteks-konteks
secara tepat.
“Telaah
mengenai bagaimana cara melakukan sesuatu dengan memanfaatkan kalimat-kalimat
adalah telaah mengenai tindak ujar” (Tarigan, 2009: 33). Dalam menelaah
tindak ujar ini seseorang harus menyadari benar betapa pentingnya konteks
ucapan/ ungkapan.
Menurut
Tarigan (2009: 33)
“telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi cara seseorang
dalam menafsirkan kalimat disebut pragmatic.”
Teori tindak ujar adalah bagian dari pragmatik, dan pragmatik itu sendiri
merupakan bagian dari performansi linguistik. Pengetahuan mengenai dunia adalah
bagian dari konteks, dan dengan demikian pragmatik mencakup bagaimana cara
pemakai bahasa menerapkan pengetahuan dunia untuk menginterpretasikan
ucapan-ucapan. Dalam setiap bahasa terdapat banyak kata dan ekspresi yang
referensi-referensinya seluruhnya bersandar pada keadaan-keadaan ucapan
tersebut dan hanya dapat dipahami bila seseorang mengenal serta memahami
situasi dan kondisi tersebut. Aspk-aspek pragmatik seperti ini disebut deiksis
(mencakup deiksis persona, deiksis kala, dan deiksis tempat). Bila meneliti
deiksis dalam upaya memahami makna ucapan yang sebenarnya jelas sangat
membantu.
Lain
halnya dengan Parker (Kurjana Rahardi, 2006: 14) menyatakan bahwa ‘pragmatik adalah ilmu
bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal.’
Jadi
dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah cabang
studi linguistik yang mempelajari tentang
tindak tutur yang bersifat triadik (bentuk, makna, dan maksud) dan mengkaji
struktur bahasa secara eksternal yang
dalam penggunaannya yang ditentukan oleh konteks dan
situasi yang melatarbelakangi pemakai bahasa.
B.
Teori Dasar Kesantunan
Abdul Chaer (2010: 79) dalam bukunya mengatakan bahwa
sebuah tuturan disebut santun kalau tuturan itu tidak terdengar memaksa atau
tidak bernada angkuh; tuturan itu dapat memberi pilihan pada lawan tutur; serta
tuturan itu dapat membuat lawan tutur menjadi senang.
Menurut Robin Lakoff (Chaer, 2010: 46) mengatakan ‘sebuah
tuturan dikatakan santun apabila ia tidak terdengar memaksa atau angkuh,
tuturan itu memberi pilihan kepada lawan tutur, dan lawan tutur merasa tenang.’
Mengenai definisi kesantunan dari Fraser, menurut
Gunarwan (Chaer, 2010: 47) mengemukakan,
‘ada tiga hal yang
perlu diulas. Pertama, kesantunan itu adalah properti atau bagian dari tuturan;
jadi, bukan tuturan itu sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan
apakah kesantunan itu terdapat pada sebuah tuturan. Mungkin saja sebuah tuturan
dimaksudkan sebagai tuturan yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga
lawan tutur, tuturan itu ternyata tidak terdengar santun; begitu pula
sebaliknya. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban peserta
penuturan.’
Pendapat lain mengatakan Brown dan Levinson (Chaer, 2010:
47) ‘teori kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka (face). Semua orang yang rasional punya
muka (dalam arti kiasan tentunya); dan muka itu harus dijaga, dipelihara, dan
sebagainya.
Pakar lain yang memeberi teori tentang kesantunan
berbahasa adalah Leech (Chaer, 2010: 47). Beliau mengajukan,
‘teori kesantunan
berdasarkan prinsip kesantunan (politeneees
principles), yang dijabakan menjadi maksim (ketentuan dan ajaran). Keenam
maksim itu adalah maksim (1) kebijaksanaan (tact);
(2) penerimaan (generosity); (3)
kemurahan (approbation); (4)
kerendahan hasil (modesity); (5)
kesetujuan (agreement); dan (6)
kesimpatian (sympathy).’
Lebih jauh Bruce Fraser (Chaer, 2010: 47) ‘kesantunan
adalah properti yang diasosiasikan dengan tuturan dan di dalam hal ini menurut
pendapat si lawan tutur, bahwa si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak
mengingkari dalam memenuhi kewajibannnya.
Lain halnya menurut Pranowo (Chaer, 2010: 47) mengatakan
bahwa suatu tuturan akan terasa santun apabila memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a. Menjaga suasana perasan lawan tutur sehingga dia berkenan bertutur dengan
kita.
b. Mempertemukan perasan kita (penutur) dengan perasaan lawan tutur sehingga
isi tuturan sama-sama dikehendaki karena sama-sama diinginkan.
c. Menjaga agar tuturan dapat diterima oleh lawan tutur karena dia sedang
berkenan di hati.
d. Menjaga agar dalam tuturan terlihat ketidakmampuan penutur di hadapan lawan
tutur.
e. Menjaga agar dalam tuturan selalu terlihat posisi lawan tutur selalu berada
pada posisi yang lebih tinggi,
f. Menjaga agar dalam tuturan selalu terlihat
bahwa apa yang dikatakan kepada lawan tutur juga dirasakan oleh penutur.
Suatu tuturan akan terasa santun apabila kedua belah
pihak dapat berkomunikasi dengan naik dan mempunyai kesepakatan, suatu tuturan
juga harus memperhatihan etika kesantunan agar tidak terkesan memaksa, angkuh
sehingga akan terjalin suasana tenang.
C.
Teori Dasar Pragmatik Klinis
Loluise Cummings dalam buku Pragmatik Klinis (2010: 11)
terjemahan dari buku yang berjudul Clinical Pragmatics 2009 mengatakan bahwa
Pragmatik klinis
adalah kajian terhadap berbagai cara bisa terganggunya penggunaan bahasa oleh
individu untuk mencapai tujuan komunikatif. Cedera serebral, patologi atau
anomali dalam tahap perkembangan atau selama adolesen atau masa dewasa.
Gangguan perkembangan dan perolehan pragmatik memiliki berbagai etiologi dan
bisa merupakan konsekwensi dari berhubungan dengan atau dilestarikan oleh
sederet faktor kognitif dan linguistik.
Sejalan dengan pendapat Loluise Cummings, Yunus Abidin
(2011: 10) dalam makalahnya yang berjudul Pragmatik dan Pendidikan Karakter
(Ancangan Model Pragmatis Klinis bagi Pendidikan Karakter Berbahasa) mengatakan
bahwa pragmatik klinis adalah tindakan pragmatis yang khusus diberikan kepada
para penutur yang memiliki penyimpangan penggunaan bahasa.
Pakar lain yakni Ninio
dan Snow (Louise Cummings, 2010: 61) mengemukakan bahwa
terdapat
tiga bidang yang menggambarkan pencapaian utama pembelajar dalam domain
pragmatik, bidang-bidang tersebut adalah pengembangan kaidah yang menentukan
penggunaan komunikatif tuturan, pengembangan keterampilan yang diperlukan dalam
percakapan dan pengembangan keterampilan yang diperlukan untuk menghasilkan
bentuk-bentuk khusus aliran dan wacana yang luas. Akan
tetapi pencapaian perkembangan tersebut terurtama meniadakan bidang-bidang lain
seperti pemerolehan kaidah kesantunan dan bentuk-bentuk deiktik yang
oleh kebanyakan peneliti ingin memasukkan ke dalam domain pragmatik. Jelasnya, bukanlah konteks yang merupakan
tempat untuk melakukan tinjauan luas pengetahuan perkembangan pragmatik.
Dapat disimpulkan dari tiga pendapat ahli di atas tentang
model pragmatik klinis yaitu, bahwa model pragmatik klinis dapat dijadikan
sebagai obat untuk penutur bahasa yang mengalami gangguan atau penyimpangan
penggunaan bahasa, sehingga dengan pragmatik klinis tersebut dapat tercapai
tujuan yang komunikatif.
D.
Teori Dasar Model Pembelajaran
Hakikat pragmatik
klinis terkait model pembelajaran perlu diterapkan kepada siswa-siswa tingkat
sekolah menengah, karena kebanyakan siswa-siswa sekarang yang lebih bergengsi
dengan menggunakan bahasa-bahasa prokem atau bahasa alay yang sekarang sedang marak digunakan dari mulai anak-anak
sampai orang dewasa sekalipun. Dengan penerapan model pragmatik klinis ini
mampu mengatasi hal-hal tersebut. Oleh sebab itu guru sebagai tenaga pendidik
siswa harus memberikan pengelolaan yang optimal baik itu berupa arahan maupun
pembelajaran khusus yang akan menunjang keberhasilan dari penerapan model
pragmatik klinis ini.
Rancangan model pragmatik klinis pun mampu mengatasi
ketidaksantunan tindak tutur siswa tingkat sekolah menengah. Selain itu model ini
dapat dijadikan bahan ajar siswa dalam proses belajar mengajar di sekolah.
Dengan menggunakan pendekatan komunikatif model ini dapat memberi kesempatan
kepada siswa memperoleh wawasan yang lebih luas.
Perkembangan baru terhadap pandangan belajar mengajar
membawa konsekuensi kepada guru untuk meningkatkan peranan dan kompetensinya
karena proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa sebagian besar
ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru. Guru yang berkompetensi akan lebih
mampu mengelola sekolahnya sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat
optimal.
Dalam berbahasa misalnya, terutama dalam kegiatan
berbicara banyak siswa yang menggunakan bahasa tidak sesuai dalam kegiatan
belajar mengajar di sekolah yang masih menggunakan bahasa campuran. Kejadian
seperti ini harus ditindaklanjuti agar tidak menjadi suatu kebiasaan.
Suherli (2007:84) mengemukakan: “kerangka pikir penelitian merupakan dasar
pijak kajian atau penelitian secara teoretis. Pijakan ini berdasarkan referensi atau temuan peneliti lain sejenis
yang akan digunakan untuk membahas atau mengupas permasalahan yang diteliti.”
Suatu penelitian memerlukan adanya pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan
yang dijadikan titik tolak sebagai anggapan dasar.
Ketidaksantunan tindak tutur siswa tingkat menengah
merupakan suatu penomena yang sangat memprihatinkan yang kerap dilakukan oleh
siswa tingkat sekolah menengah baik itu siswa SMP atau siswa SMA dalam proses
belajar mengajar di sekolah. Sehingga perlu adanya penangkal sebagai
pengantisipasinya, karena apabila terus dibiarkan maka akan sangat fatal
akibatnya. Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang tepat untuk
mengatasi hal tersebut, dengan menerapkan pendekatan komunikatif ini siswa
mampu berbahasa yang baik dan benar dalam proses belajar mengajar. Hal ini pun
perlu diarahkan dan dibimbing oleh guru sebagai modelnya.
Rancangan model pragmatik klinis merupakan model yang
dapat dijadikan sebagai obat untuk penutur bahasa terutama siswa-siswa sekolah
menengah yang mengalami gangguan atau penyimpangan penggunaan bahasa, sehingga
dengan pragmatik klinis tersebut dapat tercapai tujuan yang komunikatif.
Hasilnya dapat dicapai melalui proses belajar mengajar
dengan cara membiasakan untuk bertutur dengan sopan santun, penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar, dan tidak melakukan alih kode, campur kode,
interferensi bahasa ketika sedang bertutur. Selain itu pencapaian evaluasinya
pun dapat menggunakan penilaian sekolah dari sikap, pengetahuan, dan
keterampilan siswa.
BAB III
DATA DAN ANALISIS DATA
A.
Profil dan Identitas Data
Profil
dan identitas data penelitian ini adalah sebagian siswa-siswa SMA di Kota
Tasikmalaya. Jumlah siswa sebanyak 6 orang siswa SMA, dapat dilihat dalam tabel
berikut ini:
Tabel 1: Daftar Nama Siswa
No.
|
Nama
|
Kelas
|
Sekolah
|
1
|
Rizki
|
12
|
SMA Negeri 1
Manonjaya
|
2
|
Dian Budiana
|
12
|
SMA Negeri 5 Kota
Tasikmalaya
|
3
|
Sarif Mahmudin
|
11
|
MA YPA Al-Ulfah
|
4
|
Ika
|
12
|
SMA Negeri 6 Kota
Tasikmalaya
|
5
|
Intan Eliawati
|
11
|
SMA Negeri 3 Kota Tasikmalaya
|
6
|
Anisa Ismailiawati
|
12
|
SMA Negeri 10 Kota Tasikmalaya
|
B.
Data Percakapan
Hasil
wawancara yang penulis laksanakan bahwa dari keenam siswa yang diwawancara
terdapat empat siswa yang bertutur adanya ketidaksantunan. Maka dari itu,
penulis menyajikan percakapan siswa yang bertutur tidak santun, dapat dilihat
dalam tabel berikut ini:
Tabel 2: Daftar Bentuk Ketidaksantunan
No.
|
Nama
|
Bentuk Ketidaksantunan
|
Bentuk Bahasa
|
1
|
Dian Budiana
|
Dian : Sekarang mau pulang,
soalnya jadwalnya bukan hari ini.
Cecep : Oh iya lupa.
Mungkin sekian wawancara dari
kakak, mohon maaf telah mengganggu waktunya.
Dian : Oh gak apa-apa, biasa aja kalee.
|
Bahasa Indonesia
|
2
|
Ika
|
Maya :
Memangnya si bapak
kerja di mana?
Ika :
Di Telkom.
Maya :
Oh.
Ika :
Bentar teh smsan dulu ada yang sms
bentar yah.
Maya : Oh iya
silahkan.
|
Bahasa Indonesia
|
3
|
Intan
|
Intan : Aku
tinggal sama ayah.
Novia : Oh gitu yah, udah
punya pacar belum?
Intan : Alhamdulillah
yah sesuatu udah punya teh.
Novia : Aduh gaya yah anak
sekarang, hee.
Intan : Iya
dong teh, harus
dong teh!
|
Bahasa Indonesia
|
4
|
Anisa Ismailiawati
|
Yuyun : Disaat di sekolah ada yang menjadi
panutan tidak?
Nisa : Ada!
Yuyun : Siapa?
Nisa : Nya
banyak atuh lah yang jadi panutan! Diantaranya ;
Ibu Euis. karena dia itu baik, ramah, sopan, cantik
lagi.
|
Bahasa Sunda
|
C.
Analisis Data
Dari
keempat percakapan di atas terdapat beberapa alasan ketidaksantunan siswa dalam
bertututur misalnya: merasa keberatan, malas diajak untuk berbicara atau
berkomunikasi, tidak mengenal identitas lawan tutur, tidak bisa diajak untuk
berkomunikatif, malu untuk diajak berbicara, kesibukan yang membuat seseorang
tidak mau berkomunikasi.
Seorang
penutur merasa keberatan dalam berkomunikasi dapat dilihat pada dialog antara
Cecep Opandi dan Dian Budiana di bawah ini:
Dian : Sekarang
mau pulang, soalnya jadwalnya bukan hari ini.
Cecep : Oh iya lupa.
Mungkin sekian wawancara dari kakak,
mohon maaf telah mengganggu
waktunya.
Dian : Oh gak apa-apa, biasa aja kalee.
Dari percakapan
antara Cecep dan Dian di atas, adanya rasa keberatan untuk berbicara atau
berkomunikasi oleh Dian. Hal itu disebabkan karena Dian merasa terganggu
waktunya. Selain itu Dian ingin segera usai wawancara pada dirinya. Siswa
tersebut tidak bisa menjaga sikapnya sehingga seorang penutur merasa
tersinggung dengan sikapnya yang menunjukan ketidaksenangan diajak
berwawancara. Sikap keberatan atau kurang perhatian dalam berkomunikasi akan
memunculkan kesalahpahaman mengenai sesuatu yang sedang dibahas atau
dibicarakan.
Rasa keberatan pun dapat terjadi
karena seseorang yang diajak berkomunikasi kurang berminat diajak berwawancara
ataupun kegiatan yang lainnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut adalah harus menjalin
sikap yang bersahabat dan kesepakatan agar pembicaraan yang sedang dibahas
dapat dipahami satu sama lainnya, sehingga kesalahpahaman pun akan dihindari.
Seorang
penutur yang tidak bisa diajak komunikatif untuk berbicara atau berkomunikasi karena
kesibukan seseorang sehingga tidak mau berkomunikasi seperti pada percakapan
antara Maya dan Ika:
Maya : Memangnya si
bapak kerja di mana?
Ika : Di Telkom.
Maya : Oh.
Ika : Bentar teh smsan dulu, ada yang sms
bentar yah!
Maya : Oh iya silahkan.
Dari percakapan
antara Maya dan Ika di atas, tidak adanya sikap komunikatif untuk berbicara
atau berkomunikasi oleh Ika. Hal itu disebabkan karena Ika merasa terganggu
waktunya. Selain itu Ika pu merasa tidaklah penting meneruskan pembicaraannya
sehingga dia menyibukkan diri dengan cara berSMSan, hal itu dia lakukan untuk
menghindari pertanyaan dari pewawancara.
Kejadian tersebut dapat diantisipasi
dengan cara mengajukan pertanyaan atau pernyataan yang menyenangkan tapi sesuai
dengan topik yang sedang dibicarakan, selain itu sapaan yang baik akan
memungkinkan memberikan kenyamanan ketika berkomunikasi.
Seorang
penutur yang tidak mengenal jelas lawan tuturnya dalam berbicara atau
berkomunikasi sehingga kurang respon yang positif dari seseorang yang diajak
bertutur. Dapat dilihat pada percakapan antara Novia dan Intan:
Intan : Aku tinggal sama
ayah.
Novia : Oh gitu yah, udah punya pacar belum?
Intan : Alhamdulillah yah sesuatu
udah punya teh.
Novia : Aduh gaya yah anak sekarang, hee.
Intan : Iya
dong teh, harus
dong teh!
Dari percakapan
antara Novia dan Intan di atas, tidak adanya respon positif untuk berbicara
atau berkomunikasi oleh Inatan. Hal itu disebabkan karena Intan merasa kurang
menganal identitas lawan tuturnya yaitu Novia (pewawancara). Selain itu Intan
pun merasa nyaman dalam berkomunikasi sehingga dia memperlihatkan keangkuhannya
kepada lawan tutur tanpa memeperhatikan kesantunananya. Dapat dibuktikan dari
percakapan dia yang menggunakan kata ganti dirinya dengan menggunakan kata aku dan pernyataan Iya dong teh, harus dong teh! Selain itu Intan
pun memperlihatkan sikap tidak santun dan tidak bisa menjaga nada bicaranya
sehingga dia bertutur tanpa adanya sikap menghargai penutur.
Tidak adanya respon positif untuk
berbicara atau berkomunikasi dapat diantisipasi dengan cara memberikan
stimulus-stimulus yang memungkinkan seseorang yang diajak berkomunikasi
tersebut merasa nyaman dan tidak terlihat membosankan. Selain itu penutur perlu
memperlihatkan keseriusan dan keformalan dalam menyampaikan pertanyaan ataupun
pernyataan. Ketegasan dalam berkomunikasi dapat membewrikan respon positif
seseorang yang diajak bertutur, karena dengan sikap seperti itu akan memberikan
keyakinan uatuk menyimak atau menjawab oleh lawan tutur.
Seorang penutur yang tidak bisa diajak
untuk berkomunikatif, malu untuk diajak berbicara atau bertutur. Dapat dilihat
pada percakapan antara Yuyun dan Anisa Ismailiawati:
Yuyun : Disaat di sekolah ada yang menjadi panutan tidak?
Nisa : Ada!
Yuyun : Siapa?
Nisa : Nya
banyak atuh lah yang jadi panutan! Diantaranya;
Ibu Euis.
karena dia itu baik, ramah, sopan, cantik lagi.
Dari percakapan
antara Yuyun dan Anisa Ismailiawati di atas tidak bisa diajak untuk berkomunikatif, malu
untuk diajak berbicara atau bertutur. Rasa malu ataupun sikap yang tidak
komunikatif bisa terjadi karena lawan tutur yang diajak berbicara atau
sebaliknya kurang menyenangkan, bersikap tidak sopan, dan tidak adanya
kesepakatan bersama sehingga membuat penutur atau lawan tutur tidak terjalin komunikasi
yang baik. Kejadian seperti ini pun dapat berakibat komunikasi yang tidak
mencapai tujuan yang diinginkan satu sama lainnya.
Seseorang yang kurang berkomunikatif
dalam berkommunikasi dan malu untuk diajak berbicara atau bertutur bisa
diantisipasi dengan cara penyapaan yang baik, tidak terlalu serius, dan
memperlihatkan sikap yang menyenangkan untuk lawan tutur. Ketiga cara tersebut
dapat dilaksanakan ketika sedang berkomunikasi aataupun sebelum komunikasi itu
berlangsung.
Seseorang
yang mengajak orang lain untuk berbicara tentunya harus memperhatikan
kesantunan dalam bertutur agar lawan tutur merasa nyaman dengan sikap atau
kedatangan kita. Selain itu seorang penutur juga harus meemiliki sifat dermawan,
saling memahami, dan menciptakan suasana yang nyaman sehingga terciptanya
kesepakatan bersama antara penutur dan lawan tutur. Ketidaksantunan dalam
bertutur bisa terjadi oleh penutur dan yang diajak bertutur. Ketidaksantunan
yang bermula dari penutur dapat disebabkan adanya sikap memaksa, tidak
memperhatikan sikap yang santun, kurang menguasai bahasa, dan tidak bisa
berbahasa yang baik dan benar. Sedangkan ketidaksantunan yang bermula dari
seseorang yang diajak bertutur disebabkan adanya rasa terganggu, tidak puas
dengan pelayanan ketika bertutur, memeperlihatkan sikap tidak senang diajak
berkomunikasi, dan tidak penting untuk berkomunikasi dengan lawan tutur.
Selain
penyebab ketidaksantunan yang dipaparkan di atas ada juga penyebab yang lainnya
baik yang bermula dari penutur atau yang diajak bertutur seperti: mengkritik
secara langsung dengan menggunakan kata-kata kasar, dorongan emosi penutur atau
sengaja menuduh lawan tutur, protektif terhadap pendapat sendiri, dan sengaja
memojokan lawan tutur. Dengan memperhatikan Keformalan dalam bertutur,
kesekawanan, ketidaktegasan mampu menghilangkan
penyebab-penyebab yang telah disebutkan.
BAB
IV
PENANGANAN MODEL PEMBELAJARAN PRAGMATIK KLINIS
A.
Pengertian Model Pembelajaran Pragmatik Klinis
Model
dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang
digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model
pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar. sebagai gambaran mental yang membantu mencerminkan dan
menjelaskan pola pikir dan pola tindakan sesuatu hal. Pembelajaran adalah
kegiatan yang dilakukan guru dalam rangka menciptakan suasana yang kondusif
bagi mahasiswa belajar. Dengan demikian, model pembelajaran dapat diartikan
sebagai suatu konsep yang membantu menjelaskan proses pembelajaran baik
menjelaskan pola pikir maupun pola tindakan pembelajaran tersebut. Model
pembelajaran menawarkan struktur dan pemahaman desain pembelajaran dan membuat
para pengembang pembelajaran memahami masalah, merinci masalah, ke dalam
unit-unit yang mudah diatasi, dan menyelesaikan masalah pembelajaran.
Konsep
model pembelajaran di atas sering dipertukarkan dengan konsep desain
pembelajaran. Padahal Gagne dan Briggs (1979: 18) menyatakan bahwa “A mayor
distinction needs to be made between a model of teaching and an instructional
system.” Perbedaan yang mendasar antara model mengajar dan desain
instruksional ialah pada tujuannya. Sebuah desain instruksional bertujuan
menyajikan produk pemaknaan untuk kepentingan meningkatkan semua tipe hasil
belajar yang dituntut oleh kurikulum atau mata kuliah tertentu. Sebuah model
mengajar bertujuan menyajikan hubungan konseptual antara hasil belajar yang
diharapkan dengan metode atau sejumlah metode mengajar yang tepat.
Model
adalah model mengajar, seperti yang dijelaskan oleh Joyce dkk.(2001: 13) bahwa
model mengajar ialah “A patters or plan, which can be used to shaped a
curriculum of course to select instrucsional
materials, and to guide a teacher’s actions”. Rumusan ini diperjelas
oleh karakteristik model yang harus ada sebagai unsur pada setiap model
mengajar, yaitu 1) orientation to the model; 2) the model of teaching; 3)
application; 4) instructional and nurturant effect. Pada butir kedua
terdapat konsep unsur model mengajar, yaitu; syntax, social system,
principal of reaction, dan support system.
model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar
dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas.
Model pembelajaran merupakan salah satu
komponen utama dalam menciptakan suasana belajar yang aktif, inovatif, kreatif
dan menyenangkan (PAIKEM). Model pembelajaran yang menarik dan variatif
akan berimplikasi pada minat maupun motivasi peserta didik dalam mengikuti proses
belajar mengajar di kelas.
Pengertian syntax merujuk pada penahapan model
yang merinci tahap-tahap kegiatan model. Sebagai contoh, sintaksis ialah jenis
dan urutan kegiatan yang harus ditentukan. Unsur yang kedua dari model mengajar
ialah the social system, yang berarti hubungan yang harus tetap terjalin
antara dosen dengan mahasiswa, dan macam-macam norma (prinsip) yang harus
dianut dan dikembangkan untuk kepentingan model mengajar ini adalah principles
of reaction (prinsip-prinsip reaksi), yang berarti sikap dan perilaku dosen
untuk menanggapi dan merespon keaktifan mahasiswa dalam belajar. Unsur yang
keempat dari model mengajar ialah support system, yang berarti unsur
yang harus terkondisi tepat dan sesuai untuk menunjang pelaksanaan model
mengajar. Dengan
demikian model mengajar dapat disimpulkan sebagai suatu rencana atau pola yang
digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur materi pembelajaran, dan
memberikan petunjuk kepada pengajar di dalam kelas berkenaan dengan proses
belajar mengajar yang akan dilaksanakan.
Dapat disimpulkan dari tiga pendapat ahli di atas tentang
model pragmatik klinis yaitu, bahwa model pragmatik klinis dapat dijadikan
sebagai obat untuk penutur bahasa yang mengalami gangguan atau penyimpangan
penggunaan bahasa, sehingga dengan pragmatik klinis tersebut dapat tercapai
tujuan yang komunikatif.
B.
Orientasi Pengobatan Ketidaksantunan Berbahasa dalam Model
Pembelajaran Pragmatik Klinis
Pragmatik klinis
terdapat konsep dasar pembelajaran yang berlandaskan pada
teori Yunus Abidin yaitu model pragmatik klinis karakter berbahasa adalah model
pembelajaran yang dirancang untuk memperbaiki perilaku berbahasa yang melanggar
etika dan kesopanan berbahasa (2011: 1). Tujuan model pembelajaran pragmatik
klinis ini lebih menekankan pada pelatihan keterampilan pragmatik yang mencakup
keterampilan percakapan dalam berbagai situasi dan media serta keterampilan
komunikasi sosial dalam lingkup yang lebih luas, model pembelajaran ini juga
akan menekankan pada usaha mengembangkan kemampuan berpikir anak. Model ini
dikembangkan atas dasar prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan beberapa
ahli. Seperti menurut Pranowo (2010:62) “Menjaga suasana perasaan lawan tutur
sehingga dia berkenan bertutur dengan kita, mempertemukan perasaan kita
(penutur) dengan perasaan lawan tutur sehingga isi tuturan sama-sama
dikehendaki karena sama-sama diinginkan, menjaga agar tuturan dapat diterima
oleh lawan tutur karena dia sedang berkenan dihati, menjaga agar dalam tuturan
terlihat keidakmampuan penutur dihadapan lawan tutur, menjaga agar dalam
tuturan selalu terliahat posisi lawan tutur selalu berada pada posisi yang
lebih tinggi, menjaga agar dalam tuturan selalu terlihat bahwa apa yang
dikatakan kepada lawan tutur juga dirakan oleh lawan tutur”. Mengembangkan
penggunaan bahasa yang baik dan santun. Siswa sebagai pembelajar akan di tuntut
untuk mengguanakan bahasa yang sopan dan santun karena melalui bahasaa akan
mencerminkan karakter seseorang.
Terkait
dengan pendidikan karakter atau kurukulum pendidikan, siswa merupakan hal- hal
yang perlu diperhatikan karena siswa merupakan tunas bangsa yang selalu
dinantikan masyarakat demi keperluan bersama memerlukan suatu pembinaan atau
pendidikan karakter demi menciptakan tunas bangsa yang berkualitas larakter
yang diharapkan melalui penerapan model pembelajaran pragmatik klinis ini
adalah karakter pribadi yang mampu berbahasa yang baik dan santun sesuai dengan
konteksnya, memiliki sikap dan prilaku
yang baik, memiliki semangat untuk terus belajar memperbaiki kesalahan dalam berbahasa.
Teori
kesantunan yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa
seseorang santun dalam bertutur tergantung kesepakatan antar pihak yang
bertutur. Kenyataan yang terjadi selama ini lain dari pengertian teori
kesantunan berbahasa tersebut, karena masih banyak ditemukannya siswa yang
tidak lagi memperdulikan etika dalam berkomunikasi.
Tiga
faktor lain penyebab ketidaksantunan selain empat faktor penyebab
ketidaksantunan yang dikemukakan sebelumnya yaitu kurangnya pengetahuan
mengenai kesantunan berbahasa, adanya
pengaruh negatif yang berkembang dan berubah menjadi kebiasaan pada diri siswa
hilangnya rasa bangga terhadap bahasanya sendiri.
Model
pembelajaran pragmatik klinis merupakan salah satu model pembelajaran yang
diharapkan mampu membantu untuk mewujudkan siswa yang mampu membentuk
kepribadian yang lebih baik lagi terutama dalam berbahasa, selain itu model
pembelajaran inipun diharapkan akan berhasil dengan didukung oleh pendekatan
pembelajaran konstruktivisme yang menekankan aspek kognitif akan berkembang
bahkan mengubah pengetahuan sebelumnya setelah mendapat pengetahuan dan
pengalaman baru.
C.
Konsep Model Pembelajaran Pragmatik Klinis
1.
Sintaksis
Model
pembelajaran pragmatik klinis dibagi ke dalam empat tahapan yaitu:
- Penemuan masalah
- Merespon tuturan
- Kritik tuturan
- Memperbaiki kembali tuturan berdasankan masukan
Sejalan
dengan bagan di atas, model pembelajaran pragmatik klinis menempuh strategi
sebagai berikut.
1)
Tahap kesatu: Penyusun
melaksanakan observasi keenam Sekolah Menenganh Atas di Kota Tasikmalaya untuk
menganalisis ketidaksantunan tindak tutur siswa, setelah itu penyusun melakukan
penelitian ketidaksantunan tindak tutur berbahasa kepada enam orang siswa dari
masing-masing sekolah tersebut.
2)
Tahap kedua: siswa
diajak komunikasi berupa wawancara dengan memberikan pertanyaan-petanyaan
mengenai kegiatan belajar mengajar siswa di sekolahnya, setelah itu penyusun
menyimak tuturan tersebut untuk dianalisis ketidaksantunan berbahasanya. Setiap
pertanyaan yang dipaparkan oleh pewawancara siswa tersebut menjawab semua
pertanyaan.
3)
Tahap ketiga: data siswa
yang telah didapat hasil penelitian dari wawancarara. Data tersebut kemudian
dikumpulkan oleh peneliti dari beberapa tuturan siswa, kemudian semua data
tuturan tersebut dianalisis ketidaksantunannya, terdapat empat orang siswa yang
bertutur secara tidak santun dan dua orang siswa lainnya bertutur secara
santun. Setelah itu dilakukan kritik dan saran pada tuturan yang ditemukan dari
siswa-siswa tersebut.
4)
Tahap keempat: siswa
yang bertutur tidak santun dengan beberapa kendala seperti: merasa keberatan,
malas diajak untuk berbicara atau berkomunikasi, tidak mengenal identitas lawan
tutur, tidak bisa diajak untuk berkomunikatif, malu untuk diajak berbicara,
kesibukan yang membuat siswa tersebut tidak mau berkomunikasi. Pada tahap ini
siswa diharuskan memperbaiki tuturan yang tidak santun tersebut dengan
memperhatikan masukan, kritik, dan saran yang diberikan oleh pewawancara atau
orang lain yang menanggapi tuturannya.
2.
Sistem Sosial
Model ini menuntut siswa untuk memiliki kemampuan kreatif,
komunikatif daklam berkomunikasi secara santun dan terbuka menerima kritik
ataupun saran dari orang
lain secrara tepat sasaran serta memiliki semangat bekerja sama. Model
ini menurut siswa, pembelajarannya untuk memiliki kemampuan berbahasa yang baik
dan sopan sesuai dengan konteksnya. Model ini juga memberikan kebaikan pada
bahasa dan perilaku siswa. Dengan begitu perilaku dan bahasa siswa menjadi
lebih baik dan sopan.
3.
Prinsip Reaksi
Reaksi
dari guru terutama dibutuhkan pada tahap kedua sampai tahap keempat. Tugas
dosen pada kedua tahap ini adalah mengusahakan membangkitkan kemampuan respon
kreatif mahasiswa sebagai alat proses berpikir. Dosen harus menerima semua
respon mahasiswa agar mereka merasa diterima untuk lebih mengembangkan ekspresi
kreatifnya.
Lebih khusus
lagi reaksi guru yang diperlukan dalam model pembelajaran pragmatik klinis
adalah:
a. Guru
tidak boleh menentukan responnya kepada siswa;
b. Guru
harus menciptakan suasana komunikatif peratif;
c. Guru
harus meningkatkan kesadaran siswa untuk membuat rumusan hasil analisis yang
terbuka untuk sebuah perbaikan;
d. Guru
harus dengan bijaksana ddapat menganjurkan kepada siswa untuk memperbaiki
analisis ketidaksantunan berbahasanya.
4.
Sistem Penunjang
Penunjang yang secara optimal dapat berdampak pada
pelaksanaan model ini adalah kelompok yang aktif dan kreatif serta peran mahasiswa yang sifatnya masih problematika.
D.
Dampak Instruksional dari Pengertian Model Pembelajaran
Pragmatik Klinis pada Pengobatan Ketidaksantunan Berbahasa
Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan pada tindak tutur siswa
terdapat model pragmatik klinis memberi dampak intruksional
dalam hal peningkatan
kemampuan berbahasa siswa dalam situasi formal atau tidak formal, pengembangan
menggunakan bahasa yang baik dan santun,
pengembangan dalam beretika yang baik. Dampak penyertanya
adalah dalam hal,
pembentukan sikap dan perilaku yang baik,
mampu bertindak tutur sesuai konteksnya,
dan mampu bertindak tutur sesuai dengan keperluan.
BAB
V
SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan
Pragmatik adalah salah satu cabang semantik. Belajar
pragmatik adalah belajar agar dapat berbahasa dengan enak dan mudah, tidak
hanya di dalam forum tak formal, tetapi juga dalam forum formal. Tidak hanya
dapat berbahasa secara lisan tetapi juga secara tulis. Pragmatik
juga merupakan cabang studi
linguistik yang mempelajari tentang
tindak tutur yang bersifat triadik (bentuk, makna, dan maksud) dan mengkaji
struktur bahasa secara eksternal yang
dalam penggunaannya yang ditentukan oleh konteks dan
situasi yang melatarbelakangi pemakai bahasa.
Ketidaksantunan tindak tutur siswa tingkat menengah merupakan
suatu penomena yang sangat memprihatinkan yang kerap dilakukan oleh siswa
tingkat sekolah menengah baik itu siswa SMP atau siswa SMA dalam proses belajar
mengajar di sekolah. Sehingga perlu adanya penangkal sebagai pengantisipasinya,
karena apabila terus dibiarkan maka akan sangat fatal akibatnya. Pendekatan
komunikatif merupakan pendekatan yang tepat untuk mengatasi hal tersebut,
dengan menerapkan pendekatan komunikatif ini siswa mampu berbahasa yang baik
dan benar dalam proses belajar mengajar. Hal ini pun perlu diarahkan dan
dibimbing oleh guru sebagai modelnya.
Rancangan model pragmatik klinis merupakan model yang
dapat dijadikan sebagai obat untuk penutur bahasa terutama siswa-siswa sekolah
menengah yang mengalami gangguan atau penyimpangan penggunaan bahasa, sehingga
dengan pragmatik klinis tersebut dapat tercapai tujuan yang komunikatif. Hasilnya
dapat dicapai melalui proses belajar mengajar dengan cara membiasakan untuk
bertutur dengan sopan santun, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar,
dan tidak melakukan alih kode, campur kode, interferensi bahasa ketika sedang
bertutur. Selain itu pencapaian evaluasinya pun dapat menggunakan penilaian
sekolah dari sikap, pengetahuan, dan keterampilan siswa.
B.
Saran
Berdasarkan
uraian yang tertera di atas, perlu memandang dan mengungkapkan sejumlah saran
sebagai berikut, penulis mengharapkan dukungan dari pembaca, penulis selaku
pembaca dapat mengetahui dan memahami tentang ketidaksantunan tindak
tutur siswa tingkat menengah merupakan suatu penomena yang sangat
memprihatinkan yang kerap dilakukan oleh siswa tingkat sekolah menengah baik
itu siswa SMP atau siswa SMA dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sehingga
perlu adanya penangkal sebagai pengantisipasinya, karena apabila terus
dibiarkan maka akan sangat fatal akibatnya. Pendekatan komunikatif merupakan
pendekatan yang tepat untuk mengatasi hal tersebut, dengan menerapkan
pendekatan komunikatif. Serta dapat dipahami
dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka
Cipta.
Cummings, Louise. 2010. Pragmatik Klinis Kajian tentang Penggunaan dan Gangguan Bahasa Secara Klinis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tarigan,
Henry Guntur. 2009. Pengkajian Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar