Minggu, 19 Januari 2014

Analisis Ketidaksantunan Tindak Tutur Pada Siswa Tingkat Sekolah Menengah dengan Menggunakan Pendekatan Komunikatif dan Rancangan Model Pragmatik Klinis



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Keterampilan berbahasa sebagai alat komunikasi pada zaman sekarang ini semakin dirasakan betapa pentingnya dalam hal kegiatan berbicara atau berkomunikasi oleh masyarakat sebagai pengguna bahasa itu sendiri. Berbahasa juga merupakan alat komunikasi yang sangat vital atau sangat penting dalam kehidupan dan merupakan kegiatan berbicara yang efektif.
Pengajaran bahasa khususnya keterampilan berbicara di sekolah terutama pada siswa tingkat menengah masih kurang menggembirakan. Dapat ditemukan ketika siswa-siswa sedang bertutur dalam situasi formal, seperti halnya pada saat proses belajar mengajar di dalam sekolah mereka sering menggunakan bahasa prokem, alih kode, campur kode bahkan integrasi bahasa pun dilakukan. Ada yang mengatakan bahwa keterampilan berbahasa terutama keterampilan berbicara akan dikuasai dengan sendirinya, akan tetapi keterampilan tersebut tidak akan berlangsung dengan baik apabila tidak dibiasakan untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Oleh karena itu pendekatan komunikatif dirasa penting sebagai penunjang keberhasilan pembelajaran berbicara terutama dalam hal bertintak tutur di dalam sekolah.
Penelitian yang berjudul  “Analisis Ketidaksantunan Tindak Tutur pada Siswa Tingkat Sekolah Menengah dengan Menggunakan Pendekatan Komunikatif dan Rancangan Model Pragmatik Klinis” dilatarbelakangi dengan rumusan masalah dapatkah rancangan model pragmatik klinis mengatasi ketidaksantunan siswa tingkat menengah.
Berdasarkan kenyataan di atas, penulis tertarik untuk memecahkan masalah-masalah dengan proses berpikir secara berkelompok. Pembahasan tersebut penulis wujudkan dalam makalah penelitian yang berjudul “Analisis Ketidaksantunan Tindak Tutur pada Siswa Tingkat Sekolah Menengah dengan Menggunakan Pendekatan Komunikatif dan Rancangan Model Pragmatik Klinis”. Penyusunan makalah ini penulis ajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir Mata Kuliah Pragmatik.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan, penulis merumuskan rumusan masalah yaitu dapatkah rancangan model pragmatik klinis mengatasi ketidaksantunan siswa tingkat sekolah menengah?
C.      Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis melalui penyusunan makalah penelitian ini yaitu untuk mengetahui berhasil atau tidaknya rancangan model pragmatik klinis mengatasi ketidaksantunan siswa tingkat sekolah menengah.
D.      Manfaat Penelitian
Secara ringkas penelitian ini mempunyai beberapa manfaaat secara teoretis maupun secara praktis. Ditinjau secara teoretis, penyusunan penelitian ini berguna untuk menambah ilmu pengetahuan tentang teori-teori yang sudah ada. Sedangkan secara praktis penelitian ini diharapkan berguna bagi penulis maupun pembaca yakni sebagai wahana menambah wawasan keilmuan dalam kajian ilmu pengetahuan, dan dapat dijadikan sebagai media informasi oleh guru tentang ilmu pragmatik, bahwa rancangan model pragmatik klinis dengan menggunakan pendekatan komunikatif mampu mengatasi ketidaksantunan siswa tingkat sekolah menengah.
E.       Prosedur Penelitian
Penelitian ini disusun dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Prosedur yang penulis terapkan dalam penyusunan makalah ini adalah kajian pustaka dan metode deskriptif. Kajian pustaka yang diterapkan berupa kegiatan membaca data yang dapat diolah dengan menggunakan tekhnik analisis isi melalui kegiatan mengeksposisikan data dan mengaplikasikan data tersebut dalam konteks judul penelitian. Sedangkan melalui metode deskriptif ini penulis akan menguraikan permasalahan yang ada di lapangan secara jelas dan komprehensif.



BAB II
LANDASAN TEORETIS

A.    Teori Dasar Pragmatik
“Pragmatik adalah telaah mengenai hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatisasikan atau disandikan dalam struktur sesuatu bahasa” (Tarigan, 2009: 33). Pragmatik merupakan telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik, atau dengan perkataan lain memperbincangkan segala aspek makna ucapan yang tidak dapat dijelaskan oleh referensi langsung kepada kondisi-kondisi kebenaran kalimat yang diucapkan. Secara kasar dapat dirumuskan bahwa pragmatik  makna  kondisi-kondisi kebenaran.
Pragmatik adalah salah satu cabang semantik (Sudiati dkk, 1996: 16).

Belajar pragmatik adalah “belajar agar dapat berbahasa dengan enak dan mudah, tidak hanya di dalam forum tak formal, tetapi juga dalam forum formal. Tidak hanya dapat berbahasa secara lisan tetapi juga secara tulis. Tidak hanya mahir menulis surat, tetapi juga mahir menuliskan isi pikiran ke dalam wujud esai dan macam-macam karya tulis yang lain” (Sudiati dkk, 1996: 17).

Sejalan dengan hal demikian, George (Tarigan, 2009: 30) menyatakan bahwa “pragmatik menelaah dalam hubungannya dengan tanda-tanda dan lambang-lambang. Pragmatik memusatkan perhatian pada cara insan berperilaku dalam keseluruhan situasi pemberian dan peneriman tanda”.
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda.
Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.

Pendapat lain yang mengemukakan tentang pragmatik yakni:
Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation).
Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Leech (dalam Gunarwan 2004: 2) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.
Menurut Morris (Tarigan, 2009: 33), mengemukakan pendapatnya
‘pragmatik adalah telaah mengenai hubungan tanda-tanda dengan penafsir’ Teori pragmatik menjelaskan alasan atau pemikiran para pembicara dan para penyimak dalam menyusun korelasi dalam suatu konteks sebuah tanda kalimat dengan suatu proposisi (rencana atau masalah). Dalam hal ini teori pragmatik merupakan bagian dari performansi.

Menurut George (Kurjana Rahardi, 2006: 12), berpendapat bahwa pragmatik adalah ilmu tentang makna bahasa, dalam kaitan dengan keseluruhan perilaku umat manusia dan tanda-tanda atau lambang-lambang bahasa yang ada di sekelilingnya.’
Sejalan dengan pendapat di atas, David R dan Dowty (Kurjana Rahardi, 2006: 13) menyatakan bahwa “pragmatik adalah telaah terhadap pertuturan langsung maupun tidak langsung, presuposisi, implikatur, entailment dan percakapan atau kegiatan konversional antara penutur dan mitra tutur”.
Levinson (Tarigan, 2009: 33) menyatakan bahwa
pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang  merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain: telaah mengani kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan onteks-konteks secara tepat.

“Telaah mengenai bagaimana cara melakukan sesuatu dengan memanfaatkan kalimat-kalimat adalah telaah mengenai tindak ujar” (Tarigan, 2009: 33). Dalam menelaah tindak ujar ini seseorang harus menyadari benar betapa pentingnya konteks ucapan/ ungkapan.
Menurut Tarigan (2009: 33) “telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi cara seseorang dalam menafsirkan kalimat disebut pragmatic.” Teori tindak ujar adalah bagian dari pragmatik, dan pragmatik itu sendiri merupakan bagian dari performansi linguistik. Pengetahuan mengenai dunia adalah bagian dari konteks, dan dengan demikian pragmatik mencakup bagaimana cara pemakai bahasa menerapkan pengetahuan dunia untuk menginterpretasikan ucapan-ucapan. Dalam setiap bahasa terdapat banyak kata dan ekspresi yang referensi-referensinya seluruhnya bersandar pada keadaan-keadaan ucapan tersebut dan hanya dapat dipahami bila seseorang mengenal serta memahami situasi dan kondisi tersebut. Aspk-aspek pragmatik seperti ini disebut deiksis (mencakup deiksis persona, deiksis kala, dan deiksis tempat). Bila meneliti deiksis dalam upaya memahami makna ucapan yang sebenarnya jelas sangat membantu.
Lain halnya dengan Parker (Kurjana Rahardi, 2006: 14) menyatakan bahwa pragmatik adalah ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal.’
Jadi dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah cabang studi linguistik yang mempelajari tentang tindak tutur yang bersifat triadik (bentuk, makna, dan maksud) dan mengkaji struktur bahasa secara eksternal yang dalam penggunaannya yang ditentukan oleh konteks dan situasi yang melatarbelakangi pemakai bahasa.
B.     Teori Dasar Kesantunan
Abdul Chaer (2010: 79) dalam bukunya mengatakan bahwa sebuah tuturan disebut santun kalau tuturan itu tidak terdengar memaksa atau tidak bernada angkuh; tuturan itu dapat memberi pilihan pada lawan tutur; serta tuturan itu dapat membuat lawan tutur menjadi senang.
Menurut Robin Lakoff (Chaer, 2010: 46) mengatakan ‘sebuah tuturan dikatakan santun apabila ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan kepada lawan tutur, dan lawan tutur merasa tenang.’
Mengenai definisi kesantunan dari Fraser, menurut Gunarwan (Chaer, 2010: 47) mengemukakan,
‘ada tiga hal yang perlu diulas. Pertama, kesantunan itu adalah properti atau bagian dari tuturan; jadi, bukan tuturan itu sendiri. Kedua, pendapat pendengarlah yang menentukan apakah kesantunan itu terdapat pada sebuah tuturan. Mungkin saja sebuah tuturan dimaksudkan sebagai tuturan yang santun oleh si penutur, tetapi di telinga lawan tutur, tuturan itu ternyata tidak terdengar santun; begitu pula sebaliknya. Ketiga, kesantunan itu dikaitkan dengan hak dan kewajiban peserta penuturan.’

Pendapat lain mengatakan Brown dan Levinson (Chaer, 2010: 47) ‘teori kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka (face). Semua orang yang rasional punya muka (dalam arti kiasan tentunya); dan muka itu harus dijaga, dipelihara, dan sebagainya.
Pakar lain yang memeberi teori tentang kesantunan berbahasa adalah Leech (Chaer, 2010: 47). Beliau mengajukan,
‘teori kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan (politeneees principles), yang dijabakan menjadi maksim (ketentuan dan ajaran). Keenam maksim itu adalah maksim (1) kebijaksanaan (tact); (2) penerimaan (generosity); (3) kemurahan (approbation); (4) kerendahan hasil (modesity); (5) kesetujuan (agreement); dan (6) kesimpatian (sympathy).’

Lebih jauh Bruce Fraser (Chaer, 2010: 47) ‘kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan tuturan dan di dalam hal ini menurut pendapat si lawan tutur, bahwa si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari dalam memenuhi kewajibannnya.
Lain halnya menurut Pranowo (Chaer, 2010: 47) mengatakan bahwa suatu tuturan akan terasa santun apabila memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.    Menjaga suasana perasan lawan tutur sehingga dia berkenan bertutur dengan kita.
b.    Mempertemukan perasan kita (penutur) dengan perasaan lawan tutur sehingga isi tuturan sama-sama dikehendaki karena sama-sama diinginkan.
c.    Menjaga agar tuturan dapat diterima oleh lawan tutur karena dia sedang berkenan di hati.
d.   Menjaga agar dalam tuturan terlihat ketidakmampuan penutur di hadapan lawan tutur.
e.    Menjaga agar dalam tuturan selalu terlihat posisi lawan tutur selalu berada pada posisi yang lebih tinggi,
f.     Menjaga agar dalam tuturan selalu terlihat  bahwa apa yang dikatakan kepada lawan tutur juga dirasakan oleh penutur.

Suatu tuturan akan terasa santun apabila kedua belah pihak dapat berkomunikasi dengan naik dan mempunyai kesepakatan, suatu tuturan juga harus memperhatihan etika kesantunan agar tidak terkesan memaksa, angkuh sehingga akan terjalin suasana tenang.
C.    Teori Dasar Pragmatik Klinis
Loluise Cummings dalam buku Pragmatik Klinis (2010: 11) terjemahan dari buku yang berjudul Clinical Pragmatics 2009 mengatakan bahwa
Pragmatik klinis adalah kajian terhadap berbagai cara bisa terganggunya penggunaan bahasa oleh individu untuk mencapai tujuan komunikatif. Cedera serebral, patologi atau anomali dalam tahap perkembangan atau selama adolesen atau masa dewasa. Gangguan perkembangan dan perolehan pragmatik memiliki berbagai etiologi dan bisa merupakan konsekwensi dari berhubungan dengan atau dilestarikan oleh sederet faktor kognitif dan linguistik.

Sejalan dengan pendapat Loluise Cummings, Yunus Abidin (2011: 10) dalam makalahnya yang berjudul Pragmatik dan Pendidikan Karakter (Ancangan Model Pragmatis Klinis bagi Pendidikan Karakter Berbahasa) mengatakan bahwa pragmatik klinis adalah tindakan pragmatis yang khusus diberikan kepada para penutur yang memiliki penyimpangan penggunaan bahasa.
Pakar lain yakni Ninio dan Snow (Louise Cummings, 2010: 61) mengemukakan bahwa
terdapat tiga bidang yang menggambarkan pencapaian utama pembelajar dalam domain pragmatik, bidang-bidang tersebut adalah pengembangan kaidah yang menentukan penggunaan komunikatif tuturan, pengembangan keterampilan yang diperlukan dalam percakapan dan pengembangan keterampilan yang diperlukan untuk menghasilkan bentuk-bentuk khusus aliran dan wacana yang luas. Akan tetapi pencapaian perkembangan tersebut terurtama meniadakan bidang-bidang lain seperti pemerolehan kaidah kesantunan dan bentuk-bentuk deiktik yang oleh kebanyakan peneliti ingin memasukkan ke dalam domain pragmatik.  Jelasnya, bukanlah konteks yang merupakan tempat untuk melakukan tinjauan luas pengetahuan perkembangan pragmatik.

Dapat disimpulkan dari tiga pendapat ahli di atas tentang model pragmatik klinis yaitu, bahwa model pragmatik klinis dapat dijadikan sebagai obat untuk penutur bahasa yang mengalami gangguan atau penyimpangan penggunaan bahasa, sehingga dengan pragmatik klinis tersebut dapat tercapai tujuan yang komunikatif.
D.    Teori Dasar Model Pembelajaran
Hakikat pragmatik klinis terkait model pembelajaran perlu diterapkan kepada siswa-siswa tingkat sekolah menengah, karena kebanyakan siswa-siswa sekarang yang lebih bergengsi dengan menggunakan bahasa-bahasa prokem atau bahasa alay yang sekarang sedang marak digunakan dari mulai anak-anak sampai orang dewasa sekalipun. Dengan penerapan model pragmatik klinis ini mampu mengatasi hal-hal tersebut. Oleh sebab itu guru sebagai tenaga pendidik siswa harus memberikan pengelolaan yang optimal baik itu berupa arahan maupun pembelajaran khusus yang akan menunjang keberhasilan dari penerapan model pragmatik klinis ini.
Rancangan model pragmatik klinis pun mampu mengatasi ketidaksantunan tindak tutur siswa tingkat sekolah menengah. Selain itu model ini dapat dijadikan bahan ajar siswa dalam proses belajar mengajar di sekolah. Dengan menggunakan pendekatan komunikatif model ini dapat memberi kesempatan kepada siswa memperoleh wawasan yang lebih luas.
Perkembangan baru terhadap pandangan belajar mengajar membawa konsekuensi kepada guru untuk meningkatkan peranan dan kompetensinya karena proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa sebagian besar ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru. Guru yang berkompetensi akan lebih mampu mengelola sekolahnya sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat optimal.
Dalam berbahasa misalnya, terutama dalam kegiatan berbicara banyak siswa yang menggunakan bahasa tidak sesuai dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah yang masih menggunakan bahasa campuran. Kejadian seperti ini harus ditindaklanjuti agar tidak menjadi suatu kebiasaan.
Suherli (2007:84) mengemukakan: “kerangka pikir penelitian merupakan dasar pijak kajian atau penelitian secara teoretis. Pijakan ini berdasarkan  referensi atau temuan peneliti lain sejenis yang akan digunakan untuk membahas atau mengupas permasalahan yang diteliti.” Suatu penelitian memerlukan adanya pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan yang dijadikan titik tolak sebagai anggapan dasar.

Ketidaksantunan tindak tutur siswa tingkat menengah merupakan suatu penomena yang sangat memprihatinkan yang kerap dilakukan oleh siswa tingkat sekolah menengah baik itu siswa SMP atau siswa SMA dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sehingga perlu adanya penangkal sebagai pengantisipasinya, karena apabila terus dibiarkan maka akan sangat fatal akibatnya. Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang tepat untuk mengatasi hal tersebut, dengan menerapkan pendekatan komunikatif ini siswa mampu berbahasa yang baik dan benar dalam proses belajar mengajar. Hal ini pun perlu diarahkan dan dibimbing oleh guru sebagai modelnya.
Rancangan model pragmatik klinis merupakan model yang dapat dijadikan sebagai obat untuk penutur bahasa terutama siswa-siswa sekolah menengah yang mengalami gangguan atau penyimpangan penggunaan bahasa, sehingga dengan pragmatik klinis tersebut dapat tercapai tujuan yang komunikatif.
Hasilnya dapat dicapai melalui proses belajar mengajar dengan cara membiasakan untuk bertutur dengan sopan santun, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan tidak melakukan alih kode, campur kode, interferensi bahasa ketika sedang bertutur. Selain itu pencapaian evaluasinya pun dapat menggunakan penilaian sekolah dari sikap, pengetahuan, dan keterampilan siswa.


BAB III
DATA DAN ANALISIS DATA

A.    Profil dan Identitas Data
Profil dan identitas data penelitian ini adalah sebagian siswa-siswa SMA di Kota Tasikmalaya. Jumlah siswa sebanyak 6 orang siswa SMA, dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 1: Daftar Nama Siswa
No.
Nama
Kelas
Sekolah
1
Rizki
12
SMA Negeri 1 Manonjaya
2
Dian Budiana
12
SMA Negeri 5 Kota Tasikmalaya
3
Sarif Mahmudin
11
MA YPA Al-Ulfah
4
Ika
12
SMA Negeri 6 Kota Tasikmalaya
5
Intan Eliawati
11
SMA Negeri 3 Kota Tasikmalaya
6
Anisa Ismailiawati
12
SMA Negeri 10 Kota Tasikmalaya

B.     Data Percakapan
Hasil wawancara yang penulis laksanakan bahwa dari keenam siswa yang diwawancara terdapat empat siswa yang bertutur adanya ketidaksantunan. Maka dari itu, penulis menyajikan percakapan siswa yang bertutur tidak santun, dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 2: Daftar Bentuk Ketidaksantunan
No.
Nama
Bentuk Ketidaksantunan
Bentuk Bahasa
1
Dian Budiana
Dian : Sekarang mau pulang, soalnya jadwalnya bukan hari ini.
Cecep  : Oh iya lupa.
            Mungkin sekian wawancara dari kakak, mohon maaf telah mengganggu waktunya.
Dian : Oh gak apa-apa, biasa aja kalee.
Bahasa Indonesia
2
Ika
Maya    : Memangnya si bapak kerja di mana?
Ika       : Di Telkom.
Maya   : Oh.
Ika       : Bentar teh smsan dulu ada yang sms bentar yah.
Maya   : Oh iya silahkan.
Bahasa Indonesia
3
Intan
Intan    : Aku tinggal sama ayah.
Novia   : Oh gitu yah, udah punya pacar belum?
Intan    : Alhamdulillah yah sesuatu udah punya teh.
Novia   : Aduh gaya yah anak sekarang, hee.
Intan    : Iya dong teh, harus dong teh!
Bahasa Indonesia
4
Anisa Ismailiawati
Yuyun  : Disaat di sekolah ada yang       menjadi panutan tidak?
Nisa     : Ada! 
Yuyun : Siapa?
Nisa     : Nya banyak atuh lah  yang jadi panutan! Diantaranya ; Ibu Euis. karena dia itu baik, ramah, sopan, cantik lagi.
Bahasa Sunda

C.    Analisis Data
Dari keempat percakapan di atas terdapat beberapa alasan ketidaksantunan siswa dalam bertututur misalnya: merasa keberatan, malas diajak untuk berbicara atau berkomunikasi, tidak mengenal identitas lawan tutur, tidak bisa diajak untuk berkomunikatif, malu untuk diajak berbicara, kesibukan yang membuat seseorang tidak mau berkomunikasi.
Seorang penutur merasa keberatan dalam berkomunikasi dapat dilihat pada dialog antara Cecep Opandi dan Dian Budiana di bawah ini:
Dian    : Sekarang mau pulang, soalnya jadwalnya bukan hari ini.
Cecep  : Oh iya lupa.
            Mungkin sekian wawancara dari kakak, mohon maaf telah mengganggu waktunya.
Dian    : Oh gak apa-apa, biasa aja kalee.

Dari percakapan antara Cecep dan Dian di atas, adanya rasa keberatan untuk berbicara atau berkomunikasi oleh Dian. Hal itu disebabkan karena Dian merasa terganggu waktunya. Selain itu Dian ingin segera usai wawancara pada dirinya. Siswa tersebut tidak bisa menjaga sikapnya sehingga seorang penutur merasa tersinggung dengan sikapnya yang menunjukan ketidaksenangan diajak berwawancara. Sikap keberatan atau kurang perhatian dalam berkomunikasi akan memunculkan kesalahpahaman mengenai sesuatu yang sedang dibahas atau dibicarakan.
            Rasa keberatan pun dapat terjadi karena seseorang yang diajak berkomunikasi kurang berminat diajak berwawancara ataupun kegiatan yang lainnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut adalah harus menjalin sikap yang bersahabat dan kesepakatan agar pembicaraan yang sedang dibahas dapat dipahami satu sama lainnya, sehingga kesalahpahaman pun akan dihindari.
Seorang penutur yang tidak bisa diajak komunikatif untuk berbicara atau berkomunikasi karena kesibukan seseorang sehingga tidak mau berkomunikasi seperti pada percakapan antara Maya dan Ika:
Maya    : Memangnya si bapak kerja di mana?
Ika       : Di Telkom.
Maya   : Oh.
Ika       : Bentar teh smsan dulu, ada yang sms bentar yah!
Maya   : Oh iya silahkan.

Dari percakapan antara Maya dan Ika di atas, tidak adanya sikap komunikatif untuk berbicara atau berkomunikasi oleh Ika. Hal itu disebabkan karena Ika merasa terganggu waktunya. Selain itu Ika pu merasa tidaklah penting meneruskan pembicaraannya sehingga dia menyibukkan diri dengan cara berSMSan, hal itu dia lakukan untuk menghindari pertanyaan dari pewawancara.
            Kejadian tersebut dapat diantisipasi dengan cara mengajukan pertanyaan atau pernyataan yang menyenangkan tapi sesuai dengan topik yang sedang dibicarakan, selain itu sapaan yang baik akan memungkinkan memberikan kenyamanan ketika berkomunikasi.
Seorang penutur yang tidak mengenal jelas lawan tuturnya dalam berbicara atau berkomunikasi sehingga kurang respon yang positif dari seseorang yang diajak bertutur. Dapat dilihat pada percakapan antara Novia dan Intan:
Intan    : Aku tinggal sama ayah.
Novia   : Oh gitu yah, udah punya pacar belum?
Intan    : Alhamdulillah yah sesuatu udah punya teh.
Novia   : Aduh gaya yah anak sekarang, hee.
Intan    : Iya dong teh, harus dong teh!
Dari percakapan antara Novia dan Intan di atas, tidak adanya respon positif untuk berbicara atau berkomunikasi oleh Inatan. Hal itu disebabkan karena Intan merasa kurang menganal identitas lawan tuturnya yaitu Novia (pewawancara). Selain itu Intan pun merasa nyaman dalam berkomunikasi sehingga dia memperlihatkan keangkuhannya kepada lawan tutur tanpa memeperhatikan kesantunananya. Dapat dibuktikan dari percakapan dia yang menggunakan kata ganti dirinya dengan menggunakan kata aku dan pernyataan Iya dong teh, harus dong teh!  Selain itu Intan pun memperlihatkan sikap tidak santun dan tidak bisa menjaga nada bicaranya sehingga dia bertutur tanpa adanya sikap menghargai penutur.
            Tidak adanya respon positif untuk berbicara atau berkomunikasi dapat diantisipasi dengan cara memberikan stimulus-stimulus yang memungkinkan seseorang yang diajak berkomunikasi tersebut merasa nyaman dan tidak terlihat membosankan. Selain itu penutur perlu memperlihatkan keseriusan dan keformalan dalam menyampaikan pertanyaan ataupun pernyataan. Ketegasan dalam berkomunikasi dapat membewrikan respon positif seseorang yang diajak bertutur, karena dengan sikap seperti itu akan memberikan keyakinan uatuk menyimak atau menjawab oleh lawan tutur.
            Seorang penutur yang tidak bisa diajak untuk berkomunikatif, malu untuk diajak berbicara atau bertutur. Dapat dilihat pada percakapan antara Yuyun dan Anisa Ismailiawati:
Yuyun  : Disaat di sekolah ada yang menjadi panutan tidak?
Nisa     : Ada! 
Yuyun : Siapa?
Nisa     : Nya banyak atuh lah  yang jadi panutan! Diantaranya; Ibu Euis. karena dia itu baik, ramah, sopan, cantik lagi.

Dari percakapan antara Yuyun dan Anisa Ismailiawati di atas tidak bisa diajak untuk berkomunikatif, malu untuk diajak berbicara atau bertutur. Rasa malu ataupun sikap yang tidak komunikatif bisa terjadi karena lawan tutur yang diajak berbicara atau sebaliknya kurang menyenangkan, bersikap tidak sopan, dan tidak adanya kesepakatan bersama sehingga membuat penutur atau lawan tutur tidak terjalin komunikasi yang baik. Kejadian seperti ini pun dapat berakibat komunikasi yang tidak mencapai tujuan yang diinginkan satu sama lainnya.
            Seseorang yang kurang berkomunikatif dalam berkommunikasi dan malu untuk diajak berbicara atau bertutur bisa diantisipasi dengan cara penyapaan yang baik, tidak terlalu serius, dan memperlihatkan sikap yang menyenangkan untuk lawan tutur. Ketiga cara tersebut dapat dilaksanakan ketika sedang berkomunikasi aataupun sebelum komunikasi itu berlangsung.
Seseorang yang mengajak orang lain untuk berbicara tentunya harus memperhatikan kesantunan dalam bertutur agar lawan tutur merasa nyaman dengan sikap atau kedatangan kita. Selain itu seorang penutur juga harus meemiliki sifat dermawan, saling memahami, dan menciptakan suasana yang nyaman sehingga terciptanya kesepakatan bersama antara penutur dan lawan tutur. Ketidaksantunan dalam bertutur bisa terjadi oleh penutur dan yang diajak bertutur. Ketidaksantunan yang bermula dari penutur dapat disebabkan adanya sikap memaksa, tidak memperhatikan sikap yang santun, kurang menguasai bahasa, dan tidak bisa berbahasa yang baik dan benar. Sedangkan ketidaksantunan yang bermula dari seseorang yang diajak bertutur disebabkan adanya rasa terganggu, tidak puas dengan pelayanan ketika bertutur, memeperlihatkan sikap tidak senang diajak berkomunikasi, dan tidak penting untuk berkomunikasi dengan lawan tutur.
Selain penyebab ketidaksantunan yang dipaparkan di atas ada juga penyebab yang lainnya baik yang bermula dari penutur atau yang diajak bertutur seperti: mengkritik secara langsung dengan menggunakan kata-kata kasar, dorongan emosi penutur atau sengaja menuduh lawan tutur, protektif terhadap pendapat sendiri, dan sengaja memojokan lawan tutur. Dengan memperhatikan Keformalan dalam bertutur, kesekawanan, ketidaktegasan  mampu menghilangkan penyebab-penyebab yang telah disebutkan.

BAB IV
PENANGANAN MODEL PEMBELAJARAN PRAGMATIK KLINIS

A.    Pengertian Model Pembelajaran Pragmatik Klinis
Model dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pembelajaran. Dengan demikian, model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. sebagai gambaran mental yang membantu mencerminkan dan menjelaskan pola pikir dan pola tindakan sesuatu hal. Pembelajaran adalah kegiatan yang dilakukan guru dalam rangka menciptakan suasana yang kondusif bagi mahasiswa belajar. Dengan demikian, model pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu konsep yang membantu menjelaskan proses pembelajaran baik menjelaskan pola pikir maupun pola tindakan pembelajaran tersebut. Model pembelajaran menawarkan struktur dan pemahaman desain pembelajaran dan membuat para pengembang pembelajaran memahami masalah, merinci masalah, ke dalam unit-unit yang mudah diatasi, dan menyelesaikan masalah pembelajaran.
Konsep model pembelajaran di atas sering dipertukarkan dengan konsep desain pembelajaran. Padahal Gagne dan Briggs (1979: 18) menyatakan bahwa “A mayor distinction needs to be made between a model of teaching and an instructional system.” Perbedaan yang mendasar antara model mengajar dan desain instruksional ialah pada tujuannya. Sebuah desain instruksional bertujuan menyajikan produk pemaknaan untuk kepentingan meningkatkan semua tipe hasil belajar yang dituntut oleh kurikulum atau mata kuliah tertentu. Sebuah model mengajar bertujuan menyajikan hubungan konseptual antara hasil belajar yang diharapkan dengan metode atau sejumlah metode mengajar yang tepat.   
Model adalah model mengajar, seperti yang dijelaskan oleh Joyce dkk.(2001: 13) bahwa model mengajar ialah “A patters or plan, which can be used to shaped a curriculum of course to select instrucsional  materials, and to guide a teacher’s actions”. Rumusan ini diperjelas oleh karakteristik model yang harus ada sebagai unsur pada setiap model mengajar, yaitu 1) orientation to the model; 2) the model of teaching; 3) application; 4) instructional and nurturant effect. Pada butir kedua terdapat konsep unsur model mengajar, yaitu; syntax, social system, principal of reaction, dan support system. model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas. Model pembelajaran merupakan salah satu komponen utama dalam menciptakan suasana belajar yang aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan (PAIKEM). Model pembelajaran yang menarik dan variatif akan berimplikasi pada minat maupun motivasi peserta didik dalam mengikuti proses belajar mengajar di kelas.
Pengertian  syntax merujuk pada penahapan model yang merinci tahap-tahap kegiatan model. Sebagai contoh, sintaksis ialah jenis dan urutan kegiatan yang harus ditentukan. Unsur yang kedua dari model mengajar ialah the social system, yang berarti hubungan yang harus tetap terjalin antara dosen dengan mahasiswa, dan macam-macam norma (prinsip) yang harus dianut dan dikembangkan untuk kepentingan model mengajar ini adalah principles of reaction (prinsip-prinsip reaksi), yang berarti sikap dan perilaku dosen untuk menanggapi dan merespon keaktifan mahasiswa dalam belajar. Unsur yang keempat dari model mengajar ialah support system, yang berarti unsur yang harus terkondisi tepat dan sesuai untuk menunjang pelaksanaan model mengajar. Dengan demikian model mengajar dapat disimpulkan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan untuk menyusun kurikulum, mengatur materi pembelajaran, dan memberikan petunjuk kepada pengajar di dalam kelas berkenaan dengan proses belajar mengajar yang akan dilaksanakan.
Dapat disimpulkan dari tiga pendapat ahli di atas tentang model pragmatik klinis yaitu, bahwa model pragmatik klinis dapat dijadikan sebagai obat untuk penutur bahasa yang mengalami gangguan atau penyimpangan penggunaan bahasa, sehingga dengan pragmatik klinis tersebut dapat tercapai tujuan yang komunikatif.
B.     Orientasi Pengobatan Ketidaksantunan Berbahasa dalam Model Pembelajaran Pragmatik Klinis
Pragmatik klinis terdapat konsep dasar pembelajaran yang berlandaskan pada teori Yunus Abidin yaitu model pragmatik klinis karakter berbahasa adalah model pembelajaran yang dirancang untuk memperbaiki perilaku berbahasa yang melanggar etika dan kesopanan berbahasa (2011: 1). Tujuan model pembelajaran pragmatik klinis ini lebih menekankan pada pelatihan keterampilan pragmatik yang mencakup keterampilan percakapan dalam berbagai situasi dan media serta keterampilan komunikasi sosial dalam lingkup yang lebih luas, model pembelajaran ini juga akan menekankan pada usaha mengembangkan kemampuan berpikir anak. Model ini dikembangkan atas dasar prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan beberapa ahli. Seperti menurut Pranowo (2010:62) “Menjaga suasana perasaan lawan tutur sehingga dia berkenan bertutur dengan kita, mempertemukan perasaan kita (penutur) dengan perasaan lawan tutur sehingga isi tuturan sama-sama dikehendaki karena sama-sama diinginkan, menjaga agar tuturan dapat diterima oleh lawan tutur karena dia sedang berkenan dihati, menjaga agar dalam tuturan terlihat keidakmampuan penutur dihadapan lawan tutur, menjaga agar dalam tuturan selalu terliahat posisi lawan tutur selalu berada pada posisi yang lebih tinggi, menjaga agar dalam tuturan selalu terlihat bahwa apa yang dikatakan kepada lawan tutur juga dirakan oleh lawan tutur”. Mengembangkan penggunaan bahasa yang baik dan santun. Siswa sebagai pembelajar akan di tuntut untuk mengguanakan bahasa yang sopan dan santun karena melalui bahasaa akan mencerminkan karakter seseorang.
Terkait dengan pendidikan karakter atau kurukulum pendidikan, siswa merupakan hal- hal yang perlu diperhatikan karena siswa merupakan tunas bangsa yang selalu dinantikan masyarakat demi keperluan bersama memerlukan suatu pembinaan atau pendidikan karakter demi menciptakan tunas bangsa yang berkualitas larakter yang diharapkan melalui penerapan model pembelajaran pragmatik klinis ini adalah karakter pribadi yang mampu berbahasa yang baik dan santun sesuai dengan konteksnya,  memiliki sikap dan prilaku yang baik, memiliki semangat untuk terus belajar memperbaiki kesalahan dalam berbahasa.
Teori kesantunan yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa seseorang santun dalam bertutur tergantung kesepakatan antar pihak yang bertutur. Kenyataan yang terjadi selama ini lain dari pengertian teori kesantunan berbahasa tersebut, karena masih banyak ditemukannya siswa yang tidak lagi memperdulikan etika dalam berkomunikasi.
Tiga faktor lain penyebab ketidaksantunan selain empat faktor penyebab ketidaksantunan yang dikemukakan sebelumnya yaitu kurangnya pengetahuan mengenai kesantunan berbahasa,  adanya pengaruh negatif yang berkembang dan berubah menjadi kebiasaan pada diri siswa hilangnya rasa bangga terhadap bahasanya sendiri.
Model pembelajaran pragmatik klinis merupakan salah satu model pembelajaran yang diharapkan mampu membantu untuk mewujudkan siswa yang mampu membentuk kepribadian yang lebih baik lagi terutama dalam berbahasa, selain itu model pembelajaran inipun diharapkan akan berhasil dengan didukung oleh pendekatan pembelajaran konstruktivisme yang menekankan aspek kognitif akan berkembang bahkan mengubah pengetahuan sebelumnya setelah mendapat pengetahuan dan pengalaman baru.
C.    Konsep Model Pembelajaran Pragmatik Klinis
1.      Sintaksis
Model pembelajaran pragmatik klinis dibagi ke dalam empat tahapan yaitu:
  1. Penemuan masalah
  2. Merespon tuturan
  3. Kritik tuturan
  4. Memperbaiki kembali tuturan berdasankan masukan
 
Sejalan dengan bagan di atas, model pembelajaran pragmatik klinis menempuh strategi sebagai berikut.
1)      Tahap kesatu: Penyusun melaksanakan observasi keenam Sekolah Menenganh Atas di Kota Tasikmalaya untuk menganalisis ketidaksantunan tindak tutur siswa, setelah itu penyusun melakukan penelitian ketidaksantunan tindak tutur berbahasa kepada enam orang siswa dari masing-masing sekolah tersebut.
2)      Tahap kedua: siswa diajak komunikasi berupa wawancara dengan memberikan pertanyaan-petanyaan mengenai kegiatan belajar mengajar siswa di sekolahnya, setelah itu penyusun menyimak tuturan tersebut untuk dianalisis ketidaksantunan berbahasanya. Setiap pertanyaan yang dipaparkan oleh pewawancara siswa tersebut menjawab semua pertanyaan.
3)      Tahap ketiga: data siswa yang telah didapat hasil penelitian dari wawancarara. Data tersebut kemudian dikumpulkan oleh peneliti dari beberapa tuturan siswa, kemudian semua data tuturan tersebut dianalisis ketidaksantunannya, terdapat empat orang siswa yang bertutur secara tidak santun dan dua orang siswa lainnya bertutur secara santun. Setelah itu dilakukan kritik dan saran pada tuturan yang ditemukan dari siswa-siswa tersebut.
4)      Tahap keempat: siswa yang bertutur tidak santun dengan beberapa kendala seperti: merasa keberatan, malas diajak untuk berbicara atau berkomunikasi, tidak mengenal identitas lawan tutur, tidak bisa diajak untuk berkomunikatif, malu untuk diajak berbicara, kesibukan yang membuat siswa tersebut tidak mau berkomunikasi. Pada tahap ini siswa diharuskan memperbaiki tuturan yang tidak santun tersebut dengan memperhatikan masukan, kritik, dan saran yang diberikan oleh pewawancara atau orang lain yang menanggapi tuturannya.
2.      Sistem Sosial
Model ini menuntut siswa untuk memiliki kemampuan kreatif, komunikatif daklam berkomunikasi secara santun dan terbuka menerima kritik ataupun saran dari orang lain secrara tepat sasaran serta memiliki semangat bekerja sama. Model ini menurut siswa, pembelajarannya untuk memiliki kemampuan berbahasa yang baik dan sopan sesuai dengan konteksnya. Model ini juga memberikan kebaikan pada bahasa dan perilaku siswa. Dengan begitu perilaku dan bahasa siswa menjadi lebih baik dan sopan.
3.      Prinsip Reaksi
Reaksi dari guru terutama dibutuhkan pada tahap kedua sampai tahap keempat. Tugas dosen pada kedua tahap ini adalah mengusahakan membangkitkan kemampuan respon kreatif mahasiswa sebagai alat proses berpikir. Dosen harus menerima semua respon mahasiswa agar mereka merasa diterima untuk lebih mengembangkan ekspresi kreatifnya.
Lebih khusus lagi reaksi guru yang diperlukan dalam model pembelajaran pragmatik klinis adalah:
a.       Guru tidak boleh menentukan responnya kepada siswa;
b.      Guru harus menciptakan suasana komunikatif peratif;
c.       Guru harus meningkatkan kesadaran siswa untuk membuat rumusan hasil analisis yang terbuka untuk sebuah perbaikan;
d.      Guru harus dengan bijaksana ddapat menganjurkan kepada siswa untuk memperbaiki analisis ketidaksantunan berbahasanya.
4.      Sistem Penunjang
Penunjang yang secara optimal dapat berdampak pada pelaksanaan model ini adalah kelompok yang aktif dan kreatif serta peran mahasiswa yang sifatnya masih problematika.
D.    Dampak Instruksional dari Pengertian Model Pembelajaran Pragmatik Klinis pada Pengobatan Ketidaksantunan Berbahasa
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada tindak tutur siswa terdapat model pragmatik klinis memberi dampak intruksional dalam hal peningkatan kemampuan berbahasa siswa dalam situasi formal atau tidak formal, pengembangan menggunakan bahasa yang baik dan santun, pengembangan dalam beretika yang baik. Dampak penyertanya adalah dalam hal, pembentukan sikap dan perilaku yang baik, mampu bertindak tutur sesuai konteksnya, dan mampu bertindak tutur sesuai dengan keperluan.


BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A.    Simpulan
Pragmatik adalah salah satu cabang semantik. Belajar pragmatik adalah belajar agar dapat berbahasa dengan enak dan mudah, tidak hanya di dalam forum tak formal, tetapi juga dalam forum formal. Tidak hanya dapat berbahasa secara lisan tetapi juga secara tulis. Pragmatik juga merupakan cabang studi linguistik yang mempelajari tentang tindak tutur yang bersifat triadik (bentuk, makna, dan maksud) dan mengkaji struktur bahasa secara eksternal yang dalam penggunaannya yang ditentukan oleh konteks dan situasi yang melatarbelakangi pemakai bahasa.
Ketidaksantunan tindak tutur siswa tingkat menengah merupakan suatu penomena yang sangat memprihatinkan yang kerap dilakukan oleh siswa tingkat sekolah menengah baik itu siswa SMP atau siswa SMA dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sehingga perlu adanya penangkal sebagai pengantisipasinya, karena apabila terus dibiarkan maka akan sangat fatal akibatnya. Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang tepat untuk mengatasi hal tersebut, dengan menerapkan pendekatan komunikatif ini siswa mampu berbahasa yang baik dan benar dalam proses belajar mengajar. Hal ini pun perlu diarahkan dan dibimbing oleh guru sebagai modelnya.
Rancangan model pragmatik klinis merupakan model yang dapat dijadikan sebagai obat untuk penutur bahasa terutama siswa-siswa sekolah menengah yang mengalami gangguan atau penyimpangan penggunaan bahasa, sehingga dengan pragmatik klinis tersebut dapat tercapai tujuan yang komunikatif. Hasilnya dapat dicapai melalui proses belajar mengajar dengan cara membiasakan untuk bertutur dengan sopan santun, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan tidak melakukan alih kode, campur kode, interferensi bahasa ketika sedang bertutur. Selain itu pencapaian evaluasinya pun dapat menggunakan penilaian sekolah dari sikap, pengetahuan, dan keterampilan siswa.
B.     Saran
Berdasarkan uraian yang tertera di atas, perlu memandang dan mengungkapkan sejumlah saran sebagai berikut, penulis mengharapkan dukungan dari pembaca, penulis selaku pembaca dapat mengetahui dan memahami tentang ketidaksantunan tindak tutur siswa tingkat menengah merupakan suatu penomena yang sangat memprihatinkan yang kerap dilakukan oleh siswa tingkat sekolah menengah baik itu siswa SMP atau siswa SMA dalam proses belajar mengajar di sekolah. Sehingga perlu adanya penangkal sebagai pengantisipasinya, karena apabila terus dibiarkan maka akan sangat fatal akibatnya. Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang tepat untuk mengatasi hal tersebut, dengan menerapkan pendekatan komunikatif. Serta dapat dipahami dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA


Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.

Cummings, Louise. 2010. Pragmatik Klinis Kajian tentang Penggunaan dan Gangguan Bahasa Secara Klinis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengkajian Pragmatik. Bandung: Angkasa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar